Selasa, 22 Maret 2011

Keajaiban Hidup

Namanya Riko Andrea Wardana. Semua orang kenal dia, cowok berusia 12 tahun yang kehidupannya bak raja kecil. Hidup dengan bergelimangan harta, orang tua konglomerat, ditambah dengan kasih sayang dari kedua orang tuanya yang berlimpah, hidup Riko merupakan impian setiap orang. Papa mama Riko sangat sayang terhadap Riko apapun yang Riko mau, dalam sekejap orang tuanya dapat memenuhinya. Bahkan di ulang tahun yang ke-10, Riko mendapatkan ipod, laptop, sekaligus berlibur ke Singapura sebagai hadiah ulang tahunnya. Sungguh menarik menjadi Riko. Namun disuatu malam Riko yang tak bisa tidur berjalan kearah kamar kedua orang tuanya. Namun bukan ketenanggan yang Rikon temukan, namun ternyata. “Mama ini selalu saja menghabis-habiskan uang papa untuk arisan, belanja dan beli perhiasan mahal seperti ini ? buat apa ma ? beli barang barang nggak berguna seperti ini !”. BRUAK. Papa membanting kotak perhiasan mama. Dan itu sukses membuat Riko yang dari tadi mendengar pembicaraan kedua orang tuanya kaget setengah mati. “Papa sendiri kemana saja selama ini ? Papa selalu bilang ada rapat inilah, dengan klien itulah, padahal papa selama ini selingkuh dengan wanita lain, kan ?” Mama pun berteriak sambil menangis. PLAAKK. Papa pun menampar mama. “Papa berani menampar mama. Pokoknya mulai detik ini mama mau berpisah sama papa.” Pipi mama pun memerah karma tamparan papa “Oke kalau begitu kita pisah!” Riko yang shock langsung berlari kemar dengan tumpahan air mata. Hati Riko benar-benar sakit, melihat mamanya ditampar oleh papanya. Riko menangis dan terus menagis, walaupun riko seorang laki laki, namun tetaplah Riko hanya seorang anak kecil yang masih butuh kasih sayang. Dan sejak malam itu Riko hidup dengan bayang bayang kelam.Keesokan harinya…. “Riko sayang, kenapa sarapannya sedikit banget, sih ? muka kamu kok kusut banget, tidur jam berapa tadi malam ?” mama bertanya dengan lembut seperti tak terjadi apa semalam. “Papa mana, ma? Memang kalau berangkat sepagi ini ya?” “Maaf mama gak tau sayang. Sejak mama bangun papa udah gak ada. Mungkin ada klien penting atau ada rapat mendadak. Tumben sekali kamu nanyain papa ? ada apa?” mama menjawab dengan cuek. Riko yang jengkel dengan sikap mamanya tersebut lalu meninggalkan meja makan. “Sayang kamu kenapa ? sarapannya kan belum selesai. Kok langsung pergi ?” “Harusnya aku yang tanya sama mama kenapa ? Kenapa papa sekarang jarang ada dirumah ? Kenapa papa sama mama jarang pergi berdua ? dan KENAPA PAPA SAMA MAMA BERANTEM TADI MALAM ? apa mama tau betapa sakitnya aku melihat…melihat papa sama mama beratem seperti itu. ?” Riko pun tak kuasa menahan tangis. Ia pun tak peduli lagi harga dirinya sebagai cowok yang katanya pantang menangis. “Sayang kamu dengar…dengar semuanya… mama bisa jelasin semuanya sayang.. ini demi kebahagian kita semua…tolong ngerti.. Riko” “Ini semua buat kebaikan mama sama papa.. BUKAN BUAT RIKO dan asal mama tau Riko kecewa sama mama.” Riko pun meninggalkan mamanya yang menagis sendirian di ruang makan. Riko berlari ke kamarnya lalu membanting pintu kamar dan menguncinya. Riko tak pernah berfikir akan bisa jadi sesedih ini. Meskipun hidup dengan bergelimangan harta. Namun harta pun takkan bisa menyatukan kedua orang tuanya kembali. Riko sangat sedih hingga ia mengurung dirinya sampai fajar kembali keperaduannya. Setelah seharian belum makan, rasa lapar pun dirasakan oleh Riko. Riko pun keluar mencari makanan di dapur. Namun ditengah jalan menuju kedapur, Riko dipangil oleh kedua orang tuanya yang kelihatannya sedang berbicara serius. “Sayang kesini sebentar mama sama papa mau bicara sama kamu.” Riko pun menurut. “Riko mama sama papa sudah setuju untuk berpisah. Dan ini sudah mutlak. Dan mama mau, kamu milih mau tingal sama mama di Bandung atau sama papa di Amerika.” Mama bertanya dengan tegas. Tak ada nada sedih yang terdengar, dan itu membuat Riko semakin sedih. “Tapi ma.. Riko mau tinggal sama kalian berdua.” “Riko tolong jangan membantah. Ini sudah keputusan mama sama papa.” Akhirnya papa yang sedari tadi diam ikut membuka suara. “Oke kalu begitu aku memilih ikut papa di Amerika.” 4 Tahun Kemudian… “Sayang… kamu mau jelasin apa sama mama tentang raport mu ini… semuanya ga lebiih dari 6. Mama selama ini banting tulang sendirian di Bandung untuk kamu.” Semenjak mama dan papanya berpisah 4 tahun lalu, Riko menjadi anak yang amat sangat nakal. Semua nilainya turun drastis, bahkan dia sudah 2 kali di drop out oleh sekolah yang dulu. “Hah.. mama bilang banting tulang??? Banting tulang apanya, kerja mama Cuma duduk dikantor yang megah sambil tanda tangan surat, udah kan...” Riko berkata dengan cueknya lalu berjalan kearah kamarnya tanpa memperdulikan mamanya. “RIKO…..RIKO…. KEMBALI…MAMA BELUM SELESAI BICARA SAMA KAMU… RIKO..” BRUUAAAK. Riko pun membanting pintu kamar lalu menguncinya. Riko memang saaaannggat kecewa dengan kedua orangtuanya. Terutama dengan mamanya, yang telah melarangnya ikut bersama papanya dan memaksa Riko tinggal di Bandung. Slama ini Riko berusaha membuat mamanya jengkel kepadanya. Riko ingin mamanya menyerahkan dirinya kepada papanya di Amerika. Segala cara tlah dicoba sampai sampai Riko sudah pernah merokok, minum minuman keras, hingga menindik lidah dan hidungnya. Namun sia sia. Jika Riko kesal yang dilakukannya adalah menulis puisi. Jauh dilubuk hatinya Riko hanya ingin kedua orang tuanya kembali. Seperti saat ini Riko menulis sebuah puisi. Kapan mereka bisa kembali.Lelah diriku menjadi orang lain..Yang tegar bak besi baja.. Tiap kata yang tertulis tak mempu mengambil sebagian sesalku... Sesal yang tak pernah berujung,, Sesal yang tlah mengambil sebagian hidupku..Lelah debgan semua ini ku terpaksa menangis,,Sudah cukup penderitaan ku,,Ku masih saja munafik..Seolah ku tak butuk mereka..Berusaha cuek sambil berandai andaii,,Berharap mereka tak tau penderitaan ku.. Tak ada yang tau slama ini Riko pandai menulis puisi dan cerita singkat.Riko hanya menulis dengan sesuka hati di buku hariannya. Sepulang Sekolah… “Riko, mama denger kamu ngerokok di sekolah apa benar itu ?”Riko yang baru pulang sekolah langsung dicegat mamanya diruang tamu. “Ooo.. mama sudah pulang…tumben?? Kenapa, perusahaannya hampir bangkrut ya. Ma ?” “ Riko, jaga mulut kamu,, apa yang kamu lakukan ini tlah mencoreng nama baik mama, tau.” Riko sebenarnya sangat terkejut mendengar perkataan mamanya. “Oke kalau begitu Riko akan pergi dari rumah. Biar mama ga malu lagi punya anak kayak Riko.” Riko pun berlari kekamarnya dan membereskan berberapa barang-barangnya. “Selamat tinggal, Ma. Mungkin ini terakhir kalinya aku muncul dihadapan mama.” Riko pun berlalu dihadapan mamanya. “Riko kembali… mama minta maaf sayang…Riko..” Teriak sekencang apapun tak mampu mengaobati sesal dan kecewa di hati Riko kepada mamanya. Sepanjang perjalanan Riko pun tak tahu mau kemana. Kenapa mama seperti itu. Kenapa mama sama papa pisah. Tak tahu kah mereka aku sangat kesepian? Sendirian dijalannan, terombang ambing tak tahu mau kemana. Riko berkata dalam hati. Kesal yang dirasakannya saudah tak terbendung lagi. Setelah berjalan sepanjang siang, Riko pun memilih beristirahat di toko sederhana di pinggir jalan. Karna Riko tak mempunyai uang banyak, riko hanya beli air mineral. “Hmm...hmm…mbak beli airnya satu yah? Boleh numpang istirahat sebentar disini..” Riko sempat terbata bata karna tak disangka ternyata penjualnya adalah gadis seusia Riko yang mengalamai tuna netra. “ Maaf mas sepertinya sedang kabur dari rumah ya ?” gadis buta tersebut berusaha membuka pembicaraan setelah lama saling berdiam diri. “ Kok mbak tahu ? mbak kan….” “Saya tahu saya buta. Tapi saya masih bisa melihat dengan mata hati saya. Maaf kalau boleh tahu, kenapa ya mas kabur dari rumah ? Malah sepertinya mas ini orang kaya ya? Maaf lho mas kalau saya lancang .” “ Tidak papa kok mbak. Kenal kan saya Riko, saya memang kabur dari rumah. Orang tua saya berpisah, saya kecewa dengan mereka.” Riko pun bercerita tentang kisah hidupnya. “Saya Ira. Riko kamu masih beruntng. Tak seperti saya, orang tua saya sengaja membuang saya karna saya buta sejak kecil. Oh ya.. kamu sudah punya tempat tinggal untuk hari ini. Kebetulan di sebelah panti tempat saya tinggal ada kost-an murah. Mungkin kalau berminat.” Ira pun dengan senang hati menawari Riko tempat tinggal. “Hmm.. boleh.. kapan kamu antarkan saya kesana ?” “Maaf saya harus masih menjaga dagangan saya. Mungkin nanti sore. Bagaimana ?” “Baikalah kalau begitu. Bagaimana kalau saya membantu kamu berjualan?” “Boleh,,” Riko pun menemani Ira berjualan. Dengan cepat mereka akrab satu sama lain. Saling menceritakan kehidupan masing-masing, bercanda tawa, hingga Riko pun melupakan kesedihannya. Matahari telah turun. Kembali ke peraduannya. Meninggalkan seberkas cahaya bak emas yang berkilau di langit biru. Semua kembali dari kehidupan penuh peluh dan sesak menuju rumah masing masing dengan berbagai perasaan yang ada. Begitu pula dengan Ira dan Riko yang seharian ini berjualan, dengan perasaan ceria mereka menyusuri jalanan yang ada. Akhirnya tibalah mereka di kost-an yang akan menjadi tempat tinggal untuk Riko. “Bagaimana ? kira-kira kamu betah tidak tinggal disini, Rik ?” tanya Ira. “Betah kok. Oh ya, panti kamu dimana ?” “Masa’ ga kelihatan sih ? jaraknya sekitar 50 meter dari sini. Ya sudah kalau begitu aku pulang dulu, Rik.” Ira pun berpamitan kepada Riko .”Daaaghh..” Keesokan harinya… “Riko…Riko…Ira nih….” “Ooo Ira. Masuk aja. Bawa apa itu ? makanan ya ? wahh kebetulan aku belum sarapan nih.” Riko pun keluar untuk melihat siapa yang datang pagi pagi seperti ini. “Makasih. Aku bawa makanan dari ibu panti. Lumayan kan, kamu bisa ngirit pengeluaran. He..he..he…” “Kamu tau aja kalau aku bawa uang pas pas-an. Kita makan dimana nih ?” Tanya Riko. “Bagaimana kalau kita makan di tempat kita jualan. Sekalian kita berjualan ?” Ira pun menyampaikan idenya. “Boleh. Kalu gitu c’mon. aku sudah lapar.” Sepanjang perjalanan mereka bercanda tawa. Tak ada guratan sedih diwajah mereka, terutama di wajah Riko. Walaupun Riko mempunyai orang tua konglomerat, namun Riko terlihat nyaman bersahabat dengan Ira. Begitu pun sebaliknya, meskipun Ira buta, ia tak terlihat canggung bermain, bercanda tawa, maupun bersahabat dengan Riko. Sehari dua hari, sebulan dua bulan, Riko dan Ira bak adik dan kakak. Riko pun sering main dipanti, membantu Ira berjualan, bahkan membantu Ira mengajar anak anak di panti. Suatu hari Ira menemukan buku harian Riko, tempat Riko menulis puisi, cerpen cerpen, hingga kisah hidupnya. “Eits…buku ini jangan dibuka ya, Ra.” Riko melarang Ira mengambil buku hariannya. “Memang ada apanya sih ? Buat orang penasaran aja.” Kata Ira kesal. “Ada berberapa puisi sama berberapa cerpen, tapi ga bagus bagus banget kok.” “Bacain donk! Please.. penasaran nih. Kita kan sahabat.” Ira pun memohon “Oke. Tapi jangan ketawa kalau cerpennya jelek, janji ya.” Ira pun mengangguk dengan senang. Mulailah Riko membacakan berberapa cerpen yang dibuatnya di kala sedih. Dibacanya dengan serius cerpen tulisan tangannya. Sunyi. Hening tak ada suara lain selain suara Riko yang membaca dengan cerpen dengan menarik. Tak ada tawa yang ditakutkan Riko. Hanya wajah serius yang tampak diwajah Ira. Tak lama kemudian Riko selesai membacakan cerpen karangannya tersebut. “Bagaimana cerpennya ? jelek ya ? kok dari tadi diam terus ?” setelah selesai membaca Riko memberi Ira berbagai pertanyaan. “Kamu bercanda ya ? ini cerpen terbagus yang pernah ku dengar. Beneran ini kamu yang buat ? berarti kau hebat banget dong. Eh, bagaimana kalau puisi juga cerpen kamu kita kirim ke majalah. Lumayan kan kalau keterima, sama sekalian cerpennya juga ya?” Mengirim puisi dan cerpen ke majalah, salah satu ide cerdas yang tak pernah terpikirkan oleh Riko. Apalagi uang Riko mulai menipis. Walau dengan ragu, akhirnya Riko menyetujui ide Ira. “Tapi, aku malu, bagaimana kalau tidak diterima?” Riko pun meragu. “Kita coba dulu. Kalau ditolak, kita tetap berusaha. Udah deh, jangan ragu, besok kita kirim puisi juga cerpenmu.” Ira mencoba memberikan harapan untuk Riko. “Ehm.. baiklah.” Riko pun memutuskan walau sedikit ragu.* * * Keesokan harinya, sesuai janjinya pada Riko. Ira pun bersedia menemani Riko mengirim puisi dan cerpen ke salah satu redaksi majalah remaja. “Duh.. bagaimana ni, Ra ? aku takut cerpen dan puisiku ditolak.” “Sudahlah, Rik, yang penting kita sudah melakukan yang terbaik. Ya, semoga aja puisi dan cerpenmu diterima.” Disaat seperti inilah Ira sangat dibutuhkan oleh Riko, saat dia ragu, Ira selalu memberi semangat, dan saat dia susah, Ira datang dengan harapan baru, menghapus awan hitam yang selama ini menyelimuti Riko. Tak heran kalau Riko terlihat lebih ceria, dan bisa melupakan masa lalu kelamnya. Dua minggu tlah berlalu, dan belum juga ada balasan dari pihak redaksi majalah. Harapan Riko pun semakin lama semakin menipis, bahkan Riko hamper melupakan puisi dan cerpennya. Namun suatu hari. “Ira…ira…” “Ada apa sih, Rik, pagi pagi kok sudah ada di panti ?” Ira pun heran kenapa pagi pagi seperti ini Riko sudah ada di pantinya. “Tadi kata ibu kost ku, ada kiriman untuk aku dari pos. Dan kamu tau apa itu ?Ini bingkisan dari redaksi majalah tempat kita mengirim puisi sama cerpen, jadi…. puisi dan cerpenku diterima…” terang Riko “Ahhh…. Yang benar ? wahh kamu hebat dong, makanya kamu harus percaya diri untuk mencapai sebuah kesuksesan. Oh ya bagaimana kalau kamu juga buat novel. Nanti aku bantu ngetik deh naskanya. Lalu kita kirim ke penerbit.” “Duh.. bagaimana kalau ke beberapa Koran dulu, deh. Kalau ke penerbit bukannya terlalu cepat ya ?” “Oke deh”* * * Meskipun uang yang didapat tak seberapa namun uang tersebut cukuplah untuk menyambung hidupnya sehari hari. Dan lagipula Riko suka menulis puisi “Eh, Rik ? kamu sudah mengirim cerpen mu kemana mana, berarti tingga ke penerbit dong ? Mungkin saja bukumu nanti jadi best seller ?” Hari ini Ira menemani Riko mencari ide untuk cerpen selanjutnya. “Tapi aku nggak yakin, lagipula menulis novel ataupun teenlit itu tak mudah. Harus punya banyak ide.” Riko ragu dengan ide Ira. “Kamu bisa nulis apa saja kan, lagipula aku kan bantuin kamu.” Tawar Ira. “Oke deh aku coba. Makasih yah kamu sudah jadi penyemangatku.” Akhirnya Riko menyetujui pendapat Ira. Berberapa minggu selanjutnya Riko dan Ira sangat lah sibuk. Setiap hari setelah Riko menemani Ira berjualan, gantian Ira lah yang harus menemani Riko menulis naskah novelnya. Genap 3 bulan, akhirnya Riko dapat menyelesaikan novelnya. “Huh, akhirnya selesai juga. Oh, ya Ra, tadi aku lihat ada pengumuman lomba menulis novel. Bagaimana, sebelum ke penerbit mendingan kita coba dulu ikutin lomba novel itu, kalau novel ini bisa menang, berarti kemungkinan besar novel lainnya bisa diterima di penerbit, menurut mu ? “Ide kamu bagus. Kapan lombanya dimulai ?”kali ini ide Riko cukup bagus. Dan Ira pun menyutujui ide Riko. “Kayaknya jum’at depan deh, kamu ikut aku kan ? “Pasti.”* * * Sesuai dengan janjinya, Ira menemani Riko mengikuti lomba membuat novel. Dan setelah menunggu sekitar satu minggu pengumuman pemenang pun diumumkan. Dan tak disangka sangka ternyata novel karya Riko masuk dalam jajaran para pemenang. Rasa senang bercampur terharu jelas dirasakan oleh Riko. “Ira.. Ira.. lihat aku menang, Ra, aku menang..” “Benarkah ? wahhh selamat ya, Rik, kamu memang jago kalau soal nulis menulis. Hadiahnya apa Rik ?” Ira pun ikut senang melihat sahabatnya berhasil. “Hmm..biar aku lihat. Waw! Keren! Biar aku bacakan ya, Ra. Tiap pemenang akan mendapatkan masing masing uang tunai dan kesempatan untuk menerbitkan 3 buku. kebetulan nih. Kesempatan buat aku.”* * * Riko pun semakin sibuk dengan kegiatan menjadi penulis. 2 bukunya sudah, diserahkan ke penerbit, bahkan salah satunya sudah dijual dipasaran. Riko punya keinginan baru, yaitu ia ingin menulis kisahnya mulai dari ia masih bersama orang tuanya hingga ia seperti sekarang ini. “Ra, suatu saat nanti boleh tidak aku ingin menulis kisah persahabatan kita ? aku ingin semua orang tahu, bahwa sahabat dapat membantu kita disaat apapun, boleh kan ?” “Terserah kamu, Rik. Mau seperti apapun kisah yang akan kamu tulis, aku akan selalu membantu kamu.” “Makasih ya, Ra, kamu sudah mau membantu aku selama ini, sampai aku jadi seperti ini.” Ira pun hanya tersenyum, entah mengapa hari ini Ira gelisah sekali, ia takut hadapi hari esok.* * * “Ra, Ira, aku punya kabar bagus banget. Tadi pagi aku dapat telpon dari pihak pernerbit, katanya buku aku best seller. Dan nanti malam aku dapat penghargaan karna buku aku, buku terlaris dalam waktu tersingkat. Kamu besok mau datang kan ? Memang tak disangka ternyata novel karya Riko pun layak dipasaran, bahkan bisa cepat laku hingga menjadi best seller. Berawal dari anak broken home yang super bandel, lalu pergi meninggalkan orang tua, bersahabat dengan gadis buta, ikut berjualan di pinggir jalan, hingga menjadi penulis, sungguh alur kehidupan yang tak pernah disangka oleh Riko. “Aku usahain datang, tapi aku belum bisa janji sama kamu. Soalnya aku kurang enak badan.” Jawab Ira sekenanya. Hari ini Ira tak ingin keluar, entah apa yang ia takutkan, tapi sungguh ia sangat gelisah. “Ira… kamu harus datang dong, selama ini kan kamu yang selalu ada bantuin aku. Giliran sekarang aku sudah nyaris berhasil, kamu nggak ada di sampingku. Please..!” Riko pun memohon agar Ira datang. “Ya sudah, nanti aku datang, tapi nanti kamu duluan saja. Nanti aku menyusul.” Karna tak tega Ira pun meyetujuinya. “Tapi Ra, kamu kan..” “Kenapa ? buta ? meskipun aku buta, tetapi bukan berarti aku tak bisa mandiri kan ? kamu percaya saja sama aku.” “ Ya sudah, aku pulang dulu mau siap siap. Sampai nanti”* * * “Duh.. Ira mana sih ? sebentar lagi acaranya mau dimulai ?” Sudah hampir setengah jam Riko menunggu di halaman gedung, namun Ira tak menunjukkan batang hidungnya. Riko sangat gelisah, bukan karna Ira buta, namun rencananya nanti seusai acara, Riko akan menyatakan perasaannya bahwa ia sangat menyayangi Ira. Namun berberapa menit kemudian. “Itu Ira.. Ra…disini.. kamu denger suaraku kan ?” Namun tak disangka sangka Tiba tiba saat Ira menyebrang, datang mobil dengan kecepatan tinggi. “Akhh… Ira AWAASS….. mobil, ra…” CIAAATT…. Bruaaakk… Teriakan Riko pun tak dapat menghentikan kecelakaan tersebut. Tubuh Ira terpental dan jatuh menabrak pembatas jalan. Tubuh Ira penuh luka dan berdarah darah. Ira pun tak sadarkan diri. “IRAAA…. IRAA.. Ira kenapa ? Bangun ,Ra Bangun, Sadar!! semuanya… jangan diam saja… panggil ambulan… Cepat!! Ra… bangun, Ra” Riko pun terus berusaha membangunkan Ira. “Uhuuk hhmm…Rik…Riko..” Ira sadar lalu memanggil nama Riko. “Iya.. Ra ini aku..sabar ya, Ra. Ambulan Sebentar lagi datang..” “Riko… kamu nggak perlu repot repot, misi ku didunia ini kan sudah berhasil. Maaf yaa, aku nggak bisa menemani kamu hari ini. Meskipun begitu hidupmu harus tetap berjalan, ada atau nggak ada aku.” Kata kata Ira bukan membuat Riko semakin tenang malah semakin panik. Karna setelah itu Ira langsung tak sadarkan diri. “IRAAA… jangan tinggalkan aku, Ra… IRA…” Ira pun terlelap selamanya. Takkan ada lagi canda tawa Ira, takkan ada lagi sindiran Ira, semuanya lenyap dimakan waktu. Sudah dua bulan lebih, Riko hidup tanpa Ira. Riko pun berubah dratis. Senyum Riko pun tak pernah tampak. Kebanyakan hidup Riko diisi dengan berdiam diri melamun di kamar kost nya. Riko pun tak lagi menulis, buku terakhirnya adalah novel yang ia adaptasi dari kehidupannya, bersahabat dengan Ira selama ini. Bahkan novel itu belum sempat Ira baca. Selama setengah tahun Riko hidup dibawah bayang bayang Ira. Dan itu membuat Riko mengalami depresi kuat, sehingga tak lama kemudian Riko meninggal karna depresi. Namun ironisnya, novel terakhir Riko baru meledak dipasaran setelah Riko meninggal dunia. Kata kata Ira yang sangat Riko ingat adalah, you can make the magic, if you believe you can do. Dan kata kata itu lah yang membuat Riko semangat, bahwa ia bisa membuat keajaiban di hidupnya. Selama ini tak ada yang menyangka seorang gadis buta, seperti Ira, bisa membuat sebuah keajaiban hidup untuk seorang anak konglomerat, seperti Riko.

Resensi Novel

a. Identitas atau data buku

- Judul Buku : I Love Me

- Pengarang : Ron Herron dan Val Peter

- Penerjemah : Ibnu Setiawan

- Penyunting : Haris priyatna

- Di terbitakan oleh penerbit Kaifa tahun 2004

- Tebal buku mencapai 187 halaman

- Harga Buku Rp. 47.000

b. Sinopsis Novel

Jangan pernah kau nilai seseorang dengan penampilan nya.

Satu-satu nya yang terpenting adalah apa yang terdapat dalam diri nya.

Kalau kamu pernah merasa gak puas dengan dirimu sendiri, kamu gak

Sendirian. Banyak remaja lain yang mengalami hal serupa. Mereka pusing memkirkan penampilan luar. Tapi gak pernah membenahi yang di dalam. Padahal, apa yang ada di dalam diri itulah yang hakiki dan abadi. Seorang gadis cantik bisa aja rusak wajah nya dan cacat akibat kecelakaan yang terjadi tiba-tiba. Kalau dia nggak memelihara ’iner beauty nya. Tamat lah segalanya pada saat itu.

Buku ’I Love Me’ ini akan membimbing kamu supaya nggak terjebak dan menghabiskan energi Cuma buat menunjukkan penampilan fisik tanpa pernah mengisi pikiran jiwa. Kamu juga di ajak membahas pelik-pelik pergaulan dan masalah jatuh cinta Ketika banyak remaja lain berpacaran dengan beraneka gaya, kamu harus bisa menetap kan sikap yang tepat.

c. Kelebihan dan kekurangan Novel.

Kelebihan Novel : Sangat lengkap masukan-masukan nya,

Dari masalah pergaulan dengan teman-teman.

My family, bahkan masalah percintaan.

Kekurangan Novel : Kisah tentang sesorang nya terlalau sedikit,

Masukan-masukan nya sulit di pahami karena banyak kata-kata yang di ulang.

d. Sasaran Pembaca

Sasaran Untuk Novel ini adalah para remaja. Banyak remaja yang nggak puas dengan siapa dan bagaimana diri mereka. Mungkin mereka nggak suka penampilan mereka, atau benci dengan kondisi ekonomi keluarga nya. Sebagian remaja merasa nggak puas dengan cara mereka menghadapi situasi tertentu.

e. Resensi Novel

Isi dari novel I Love Me ini yaitu belajar bagaimana menyukai diri sendiri , Pergaulan, Menghadapi Orang tua, Jatuh Cinta.

Ketegasan adalah sebuah kata yang amat penting. Kata ini berarti kemampuan untuk mengepresikan diri dengan mantap dan Positif Artinya kamu bisa mengatakan kepada seseorang dengan jelas dan langsung tentang maksud, pendapat, dan perasaan mu tanpa menyingung perasaan orang itu.

Beberapa kiat untuk membantu mu menjadi lebih tegas yaitu :

5 Mulailah menjadi lebih tegas kepada orang yang kami sayang.

6 Pelajarilah Cara memulaipercakapan.

7 Buat pernyataan ”Aku”

Cara menngkat kan penghargaan diri :

8 Datalah keunggulan dan kekurangan yang kamu miliki.

9 Belajar lah menjadi lebih tegas.

10 Belajar lah mengatakan hal-hal yang positif kepada dirimu sendiri.

11 Tetapkan diri menuju sukses

12 Bertanggung-jawablah terhadap perilaku mu.

13 Hormati diri sendiri. Berpegang teguhlah terhadap apa yang menurut mu benar.

14 Bantulah Orang lain.

15 Belajar menyelesaikan persoalan mu sendiri.

Bergaul yang benar

Di usia muda ini, kamu memang mesti banyak bergaul, makin banyak teman maki baik. Kamu bakal semakin bijak dan hdup mu jadi lebih ceria.

Orang-orang Yang asyik untuk bergaul yaitu :

16 Cari seseorang yang mudah di ajak bicara.

17 Cari seseorang yang menyukai hal-hal yang hampir sama dengan mu.

18 Cari seseorang yang enak di ajak jalan bareng.

19 Cari seseorang yang sopan.

20 Cari sesorang yang menghormati keterbatasan pribadi mu.

Menghadapi Orang tua

Orang tua menghabiskan 18 bulan masa kanak- kanak anak mereka dengan mengajari nya berjalan dan berbicara, tapi aneh nya 18 berikut nya mengajarinya duduk dan diam.

Perubahan diri menuju perbaikan :

21 Tetapkan waktu untuk pulang ke rumah dan patuhi ketetapan mu ini.

22 Beri kabar

23 Tepati janji mu.

24 Sisihka waktu untuk Ibu dan Ayah,

25 Berbagi perasaan,

26 Akui kesalahan mu,

27 Terima konsekuensi

28 Lakukan kebajukan,

Penantian Yang Menyakitkan

Detik telah berganti menjadi menit lalu jam dan menjadi hari lalu keminggu selanjutnya menjadi bulan. Aku masih di sini menanti sebuah jawaban. Jika bukan karena cinta tak mungkin aku dapat bertahan, menunggu sesuatu yang tak pasti. Hanya harapan dari sebuah janji yang keluar dari bibir yang manis sekali. Bagai mantra sihir yang mampu membuatku terpaku dan selalu berharap akan kehadirannya. Atas nama cinta dan kesetiaan begitu klasik memang, tapi itulah kebodohanku. Sebuah kebodohan yang menurutku lebih baik dari pada aku harus berkhianat. Angga adalah sosok seorang yang dapat aku banggakan, walaupun bukan orang berada namun ia mempunyai semangat dan selalu optimis dengan hidup, tak ada yang disesali dalam hidupnya. Mungkin itu bentuk syukurnya, sikapnya yang selalu berpikir poitif yang membuatku menjadi simpatik. Hanya kekuatan hati dan keyakinan yang aku miliki, aku selalu berharap bahwa dia akan kembali dengan sebuah harapan yang sangat aku nantikan tentunya. Entah sampai kapan namun aku yakin suatu hari. Resahku, hampir setiap malam menemani tidurku, menemani sepiku yang berakhir dan berubah menjadi isak tangis yang aku sendiri tidak tahu, kenapa aku menangis. Terkadang terbesit untuk hengkang dari janji itu namun bisikan hati melarangku. Entah keterpaksan atau tidak, yang pasti aku merasa ini ketulusan. Walau bulan menjadi tahun dan kabar tentangnya tak jua sampai padaku namun aku tak pernah berprasangka buruk tentangnya. “Kamu itu tolol” kata Vina padaku. Dia lah sahabat karibku yang selalu menasehati dan memperhatikanku.“Memang, tapi aku tidak mau dibilang penghianat oleh Angga” Jawabku lemah.“Memang kamu tahu, kalau di sana Angga setia? Hah?! Sit!” Lanjut Vina dengan wajah bersungut.“Aku gak tahu, namun aku tak berani untuk menuduhnya dengan pikiran-pikiran seperti itu yang akan mempengaruhi kepercayaanku” Jawabku dengan mata berkaca.“Win, Win….” Vina menggelengkan kepala. Ia merasa capek menasehati aku agar dapat melupakan Angga dan ia mengharapkan agar aku mencoba untuk bisa mencintai orang lain Memang beralasan nasehat Vina, karena selama 3 tahun Angga tak pernah memberikan kabar. Setidaknya tempat dimana dia sekarang ini berada. Surat yang ia tinggalkan ketika akan pergi hanya berisi “berjanjilah sayang untuk setia dan sabar menantiku, suatu hari aku akan datang menemui kamu lalu kita akan hidup bersama” Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, harapan itu tak juga datang. Sedikit demi sedikit terkikis juga dalam hatiku. Kuliahku sebulan lagi selesai dan orang tuaku pasti akan menanyakan tentang masa depanku dan pendampinku. Meskipun orang tuaku tidak pernah memaksakan atau menjodohkan aku, namun diusiaku yang tidak lagi muda menjadi sesuatu beban juga dalam pikiranku. Apalagi kekolotan dalam keluarga besarku yang selalu membicarakan saudaranya sendiri jika ada cela dalam salah satu keluarganya. Perawan tua merupakan aib besar dalam keluargaku. Orang tuaku merasa takut dan malu jika anaknya selalu menjadi gunjingan ketika ada acara besar keluarga. Bisik-bisik yang menyakitkan. Aku pasti akan dibilang sok cantik pilih-pilih pula dalam mencari jodoh. Perawan tua lah, dan entah apa lagi cemoohannya. Batinku semakin berat, hanya pada Tuhan aku berharap semoga aku tabah menjalani ini semua. Karena rasa ini Dia-lah yang menciptakan. Suatu hari pasti akan aku temui harapanku, hanya itu yang menjadi motivasiku. Ketakutanku akhirnya terjadi juga. Setelah lulus kuliah, aku langsung diterima kerja disebuah perusahaan swasta, namun penantianku tak juga mendapat kepastian. Aku mulai dicerca oleh gunjingan. Orang tuaku semakin merasa tertekan, rasa malu mulai merambat benak mereka. Berkali-kali bapak bertanya tentang kehidupanku kedepan. Aku hanya menjawab belum waktunya, karena yang aku tunggu belum juga datang. Dan aku meyakinkan pada mereka bahwa pasti aku akan menikah, tapi tidak secepatnya. Tak tahan dengan gunjingan saudara-saudara penyakit jantung bapak kambuh, dan harus dirawat intensif di rumah sakit. Disela sakitnya bapak memintaku agar jangan pilih-pilih tebu dalam memilih suami, nanti malah keburukan yang akan didapat. Kata-kata bapak membuat dadaku sesak. Aku tidak pilih-pilih dalam hal itu, aku hanya ingin menepati janji untuk menunggu orang yang sudah kupilih untuk menjadi pendapingku.“Angga?, kenapa kamu tak pernah mau mengerti tentang resah ini” Ratapku. Sebagai anak satu-satunya, perempuan pula, apa yang harus aku lakukan?, selama aku hidup rasanya belum pernah membahagiakan orang tuaku. Pikiranku saat ini adalah apakah aku siap jika menikah dengan orang selain Angga? Itu yang menjadi bebanku. Aku takut jika kelak ia kembali dan mendapatkan aku sudah menikah dengan orang lain. Tak dapat kubayangkan hancurnya perasaannya. Aku benar-benar tidak tega jika perjuangannya selama ini hancur seketika hanya gara-gara aku menghianatinya. Namun harus bagaimana aku ini?. Dengan sangat terpaksa aku berbohong, aku bilang pada bapak akan dilamar 3 bulan lagi. Mendengar tuturku wajah bapak berseri seminggu kemudian bapak sembuh. Aku bahagia, namun juga panik dan sedih. Dalam tiga bulan?, akankah Angga datang. Sedang hingga saat ini tak juga aku dapatkan alamatnya. Dalam waktu yang kurasa singkat apakah aku bisa mencintai orang lain selain Angga.“Ya. Allah, aku pasrah padaMu” masalah ini betul-betul sangat menekan perasaanku. Tubuhku semakin kurus kurasakan. Setiap malam kegelisahan merayap berlahan, membuahkan sebuah tangis lirih yang sangat mengiris hati. Mataku tidak akan terpejam sebelum shalat subuh aku kerjakan. Aku benar-benar tidak dapat lagi berfikir dengan tenang. Bayangan Angga, Bapak dan saudara-saudara, melintas bergantian. “Angga, jika bukan karna janji aku tak akan seperti ini, jika bukan karena cinta aku tidak akan setia menunggumu walau tanpa kepastian darimu” desahku sambil berlinang air mata. Aku tatap wajah Angga yang tersenyum manis di balik bingkai kaca di atas meja sudut samping tempat tidurku.****Senja ini gerimis, aku pulang dari tempat kerjaku 1 jam lebih awal. Karena mendadak kepalaku pusing dan pandanganku berkunang-kunang. Aku harus menuruni tangga keluar dari kantorku. Di atas anak tangga aku berhenti. Tiba-tiba aku merasa disekitarku gelap. Tangan kokoh memegang lenganku dan memapahku turun berlahan, lalu didudukan aku di kursi ruang lobi.“Ambilkan air putih” samar suara laki-laki ku dengar. Segera seorang OB membawa segelas air putih, tak menunggu lama air putih yang telah dipegang laki-laki itu telah menempel dibibirku. “Minum win, biar tenang dan jantungmu stabil”Ucapnya. Antara sadar dan tidak aku meneguk sedikit demi sedikit air putih yang disodorkan dibibirku. Rasa dingin segar mengalir kekrongkongan lalu nafasku lega dan detak jantungku tak lagi berdebar. Berlahan ku buka mataku.“Pak Hendra!” Pekikku kaget.“Ada apa dengan saya pak?” Aku masih merasa heran.“Kamu hampir jatuh dari tangga Win, dan kebetulan saat itu saya tepat ada dibelakangmu” Terang pak Hendra.“Terima kasih pak, maaf sekali. saya memang selalu merepotkan” Ucapku kaku. “Sudah, jangan seperti itu. Ini kebetulan saja. Badanmu masih lemah. Kebetulan saya akan keluar menemui clien sekalian saya antar kamu pulang, ayo..mobil sudah menunggu di depan” Tawar pak Hendra ramah. “Terima kasih banyak pak, tapi biarlah saya naik bus saja, saya sudah biasa seperti ini” Tolakku tulus.Aku merasa malu, Pak Hendra adalah bosku. “Sudahlah, menolak berarti kamu tidak menghargai saya” Ucapnya benar-benar membuat aku tak bisa menolak lagi. Aku hanya mengangguk dan berjalan berlahan menuju mobil sedan hitam mengkilat mewah. Di dalam mobil mewah ini, tubuhku seakan mengigil, entah karena dinginnya AC atau karena kegrogianku. Aku gemetar, namun gemetarku tak sampai terlihat oleh pak Hendra karena beliau duduk didepanku. Pak Hendra yang masih muda menjadi bosku. Umurnya sekitar 31 tahuan, selisih 3 tahun denganku. Sungguh laki-laki yang sempurna, wajahnya tampan, cerdas, baik hati, ramah dan dia adalah sosok pemimpin yang bijaksana. Mungkin perusahaan ini maju pesat, karena dipimpin oleh orang yang tepat. Orang yang cerdas dan mampu membuat semua karyawannya mempunyai jiwa loyalitas yang tinggi. Pendekatan yang sangat jarang dimiliki oleh para bos diluaran sana. Pak Hendra, seorang pengusaha muda yang sukses. Namun, tetap saja tak ada kesempurnaan dalam diri setiap manusia. Entah kenapa sampai saat ini Pak Hendra belum juga menikah. Padahal tidak ada lagi yang menjadi pertimbangan untuknya mencari wanita. Sampai saat ini, gosippun tak terdengar kalau dia mempunyai seorang kekasih. Bersama wanitapun tidak pernah ada yang melihat. Kebiasaan buruk memang, dan tidak enak jika anak buah tidak membicarakan bosnya, entah itu membicarakan tentang kebaikannya atau keburukannya dan ini sudah menjadi kebiasaan bagi semua anak buah dimanapun. Yang menjadi topik pembicaraan tempatku bekerja hanyalah tentang kesendirian Pak Hendra. Terkadang terdengar dari salah satu karyawan mengatakan pak Hendra itu Gay, ada juga yang mengatakan Pak Hendra itu trauma, dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang kesendirian Pak Hendra dan selalu menjadi topik hangat setiap hari. Pak Hendra tidak risih, itu yang menjadi keseganan kami. Ia hanya tersenyum saat ada yang kepergok sedang membicarakannya. Aku sendiri berprediksi kalau pak Hendra itu trauma dengan wanita. Mungkin karena dia pernah dikhianati atau pernah disakiti oleh wanita. Tapi wanita tolol mana yang sampai menyiakan cinta pak Hendra. Memang tidak ada habisnya untuk membicarakan orang lain, sampai masalah dalam diri sendiri lupa. Sepanjang perjalanan aku bungkam dan pak Hendra hanya berbicara dengan klien lewat Hpnya. Setengah jam mobil mewah ini berjalan gerimis tak juga reda, suasana kelabu semakin terasa dingin namun menyegarkan.“Di depan gang itu saja pak saya turun” Ucapku memecah keheningan.“Tapi rumahmu masuk kan?” Tanya pak Hendra“Ia pak” jawabku singkat“Ya sudah sekalian saja sampai depan rumahmu” Ucap pak Hendra tegas.“Tapi pak, nanti bapak terlambat menemui klien.”“Tidak jauh kan?, ini masih grimis nanti tambah sakit kamu win”Aku benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi. Tepat didepan rumah mobil berhenti. Susana rumahku lengang. Ini sudah biasa, aku keluar dari dalam mobil mewah pak Hendra mengantarku sampai depan pintu rumah. Perasaan malu sangat aku rasakan entah kenapa. Pintu terbuka sebelum aku sempat memencet bel, kepala ibu menyebul dari balik pintu. Terlihat dari wajahnya ada keterkejutan melihat aku dan Pak Hendra dan senyumnya menggambarkan harapan dan kebahagiaan. Ibu menatapku, lalu memegang wajahku.“Kamu pucat sekali, kamu sakit sayang?” Ucap ibu lembut namun penuh dengan kekhwatiran.“Iya bu, Windi tadi pingsan dikantor, dan kebetulan saya memang akan keluar untuk menemui klien jadi sekalian antar Windi” sambar Pak Hendra.“Aduh terima kasih mas” Ucap ibu tulus. Pak Hendra mengulurkan tangan.“Saya Hendra bu, teman kerjanya Windi” Ucap Pak Hendra setengah berbohong.“O, ya mari masuk dulu” Tawar ibu bukan basa-basi.“Terima kasih bu, saya buru-buru” Tolak Pak Hendra disertai senyum khasnya, senyuman yang menawan setiap orang yang melihatnya.“Maaf ya nak Hendra sudah merepotkan” Ucap ibu tulus“O, tidak apa-apa bu, saya pamit assalamualaikum” Pak Hendra berlalu setengah berlari menuju mobilnya karena gerimis semakin deras mengguyur.“Walaikumsalam” Jawab ibu dan aku bersamaan. Aku dipapah ibu ke kamar, punggung tangan ibu menempel dikeningku.“Badanmu panas win” Ucapnya Panik“Win sudah minum obat kok bu, hanya kelelahan saja, istirahat dulu ya bu, Win capek” Ucapku lemah.Ibu hanya mengangguk sambil menyelimuti tubuhku lalu mengecuk keningku. ****Pagi yang cerah, tubuhku sudah sehat terasa. Aku buka jendela kamar dan sinar matahari pagi menerobos masuk menghangatkan ruang kamarku. Masih dipinggir jendela aku tersenyum melihat sisa embun di ujung daun jeruk nipis kemilau tersinar matahari bagai mutiara murni. Ibu sengaja menanam pohon-pohon di samping rumah karena ibu mencintai kehijauan. Lagi pula sejuk rasanya kalau ada pohon-pohon didekat rumah, rumah jadi sehat dan asri. Sisa gerimis semalam ternyata menyegarkan suasana pagi. Belum puas aku menikmati segarnya pagi suara bel berbunyi. Terpaksa aku keluar kamar namun ibu sudah lebih dulu sampai di ruang tamu. Aku lihat ibu menyibakan tirai jendela sebelum mebukakan pintu.“E..nak Hendra, mari masuk” Ucap ibu. Aku terkejut bukan kepalang. Pagi-pagi begini Pak Hendra kerumahku. Aku belum sempat cuci muka, apalagi mandi. Aku benar-benar panik segera aku ambil handuk yang menggantung di balik pintu kamarku, setengah berlari aku masuk kamar mandi. Ibu sudah sudah asik ngobrol pagi-pagi dengan Pak Hendra.“Win Sudah sehat bu?” Tanya Pak Hendra.“Sudah, sebentar saya panggilkan” Jawab ibu sambil berlalu menuju kamarku. Aku keluar dari kamar mandi, ibu langsung mendekati aku.“Win, Hendra datang. Siapa dia?” pertanyaan Ibu mengejutkan aku.“Pak Hendra adalah bosku bu” jawabku.“Bos mu?, “ ibu mengerutkan kening“Iya, kalau nggak percaya liahat nanti apa yang kami bicarakan” Aku keluar kamar dan menemui Pak Hendra“Pak Hendra. Maaf saya baru mandi. “ Sapaku. Pak Hendra menatapku dengan tatapan yang tidak biasa menurutku. Tajam namun teduh. Ada setitik kecemasan dan keceriaan di sana.“O, sudah sehat Win?”“Alhamdulilah pak. Ini ada apa pagi-pagi sekali?” tanyaku heran.“Saya hanya ingin jenguk kamu, kalau kamu sudah sehat ya sekalian kita bareng ke kantor” Ucapnya lagi-lagi membuat aku tak bisa menolaknya. Ibu yang mendengar pembicaraanku mengangguk percaya dengan penjelasanku, sambil membawa segelas teh hangat ia menyuruhku agar cepat berkemas. “Diminum nak Hendra” “Terima kasih, wah jadi merepotkan ini” katanya disertai senyumIbu ikut tersenyum.“Tidak, tidak merepotkan justru kami yang merepotkan. Sampai seorang bos menjemput anak buahnya” Tawa pun pecah.“Ah Windi pasti cerita siapa saya ya bu?”“Iya, habis ibu penasaran. Karena Windi tidak biasanya pulang dengan seorang laki-laki.” Ucap ibu serius“Oya. Windi tidak pernah di antar atau di jemput pacarnya atau teman laki-laki?” Tanya Hendra penasaran.“Pacar?, Windi kok punya pacar gadis rumahan seperti Windi tidak akan punya pacar, sebab tidak ada yang tahu kalau rumah ini punya anak gadis. Berangkat kerja pagi pulang sore dan hari minggu ndekem aja dikamar. Gimana mau ada laki-laki yang tahu” Jawab ibu panjang. Pak Hendra hanya manggut-manggut. Aku keluar sudah dengan pakaian kerjaku. Baju blazer hitam, kaca mata dan tas menyangkut dipundakku. Setelah berpamitan aku dan Pak Hendra menuju mobil mewah yang sudah parkir di depan rumah.Walau segan aku coba bersikap biasa saja ketika ada di dalam mobil mewah pak Hendra. Sejak saat itu hari-hariku menjadi hari-hari yang aneh. Sebab Pak Hendra setiap pagi menjemputku dan pulang selalu bersamaku. Aku menjadi gosip palih hot di kantor.“Wah ketiban duren nih” Ledek Indri teman kerjaku.“Iya sakit banget” Balas canda ku. Dua bulan setengah. Waktu singkat menurutku. Pak Hendra beranikan diri untuk melamarku. Entah rasa apa yang aku rasakan yang pasti panik, sedih, senang bahagia bangga bercampur aduk jadi satu. Kemarin aku sendiri yang bilang perempuan mana yang tolol menolak pak Hendra yang begitu kaya, baik tampak dan cerdas. Sekarang masalahku bertambah. Yang kuharapkan tak juga datang, hadir Pak Hendra yang dapat membuat kedua orang tuaku merasa bangga dan bahagia. Walaupun kesempurnaan terdapat pada diri pak Hendra namun hati ku tak tergoda sedikitpun. Hatiku masih saja menyebut-nyebut nama Angga. Aku benar-benar tak dapat melupakannya. Ini cinta bagiku, karena statusnya tak dapat digantikan oleh siapapun dan apapun. Rasa yang aku miliki pada Angga tak ku miliki pada diri Pak Hendra. Kenapa?. Hal ini yang aku takutkan, aku takut ada keterpaksaan pada hatiku, meskipun sudah sekuat tenaga aku paksakan untuk dapat menerima Pak Hendra dengan harapan aku bisa jatuh cinta karena kesempurnaannya. Tapi tetap tidak bisa. Angga satu-satunya yang aku cintai. Namun, hingga saat ini tak juga ada kabar tentangnya. Pertimbanganku sudah pas. Karena aku minta pada pak Hendra tunggu tepat tiga bulan.“Pak Maaf, saya minta agar pas tiga bulan baru saya akan beri tahu jawabannya” Kataku pak hendrapun setuju. Kini waktunya telah tiba dan jawaban harus aku berikan pada pak Hendra. Bayangan orang tuaku yang bangga dan bahagia membuatku ingin menerima lamaran Pak Hendra, bayangan saudara-saudaraku yang mengejekku dan mentertawakan aku memotivasi aku untuk menerima Pak Hendra dan bayangan Angga yang tersenyum? Aduh,. Membuat perih dadaku.“Maaf kan aku sayang?, tidak bisa memegang janjiku. Bayak alasan yang aku berikan untukmu, kenapa aku ingkari janji ini” desahku. Aku terima lamaran Pak Hendra. Seminggu lagi aku menikah. Dapat dibayangkan bagaimana resepsi pernikahan orang-orang kaya. Semua ternyata sudah dipersiapkan Pak Hendra jauh sebelum dia melamarku. Aku benar-benar tidak menyakan, selama ini Pak Hendra benar-benar memperhatikan aku. Akad nikah dimulai, aku pejamkan mataku. Bayangan Angga datang , aku buka mataku bersama air mata menitik di sudut mataku. Aku benar-benar merasa hina karena semua cinta dan kesetiaanku aku lepas begitu saja. Aku seorang penghianat. Akad nikah selesai, aku dan Pak Hendrapun duduk di pelaminan para tamu undangan menyantap menu yang disediakan, aluan musik klasik menambah keromantisan. Batinku tidak di sini tapi entah dimana, aku resah dan rasa bersalah meyelimuti hatiku. Sebelum bertemu Angga aku tidak akan lepas dari semua dosa ini. Hanya kata maaf yang aku butuhkan dari Angga. Tapi kapan, dimana?. Aku benar-benar tersiksa. Pestapun hampir usai mobil sedan mewah berhenti. Seorang laki-laki keluar dari dalam mobil. Aku tercengang melihatnya. “Angga…” tak sadar aku berdiri tak peduli Pak Hendra melihatku heran.Angga melangkah, dengan tegang tak ada senyum dibibirnya. Ia langsung kepelaminan menjabat tangan Pak Hendra“Selamat” katanyaLalu kepadaku dan meyelipkan lipatan kertas“Penghianat” ucapnya lirih. Aku benar-benar merasa malu, sakit dan kesal. Kenapa ia baru datang ketika aku sudah ada di pelaminan. Kenapa.? Kenapa?..” jerit batinku.Angga melangkah meninggalkan kami dan menuju mobil mewah. Lalu melesat pergi. Surat Angga aku baca di kamar mandi.“aku tak menyangka, hari ketika aku kembali kau sudah ada yang punya. Aku merasa bersalah kenapa tak ada kabar buatmu. Itu pasti alasan mu kenapa kamu menikah. Aku mengerti, tapi kamu tidak akan pernah mengerti kenapa aku tak berikan kabar buatmu. Aku sudah berjanji. Semua yang aku lakukan demi kamu, buat kamu dan karena kamu. Keberhasilanku karena kamu, terima kasih. Tapi semua ini untuk apa? Orang yang aku cintai dan yang berhak menerima ini semua telah pergi. Maafkan aku Windi. Aku doakan semoga kamu dapat bahagia dengannya.” Aku terisak, sedih dan entah apa lagi yang aku rasakan. Semua ini sudah aku bayangkan. Namun kenyataannya lebih sakit. Sangat meyakitkan. Orang yang aku dambakan, kembali dan terlambat haya beberapa jam. Seandainya dia datang sebelum akad nikah dimulai aku akan korbankan maluku untuknya. Tapi ini kehendakNya. Aku yakin.


Detik telah berganti menjadi menit lalu jam dan menjadi hari lalu keminggu selanjutnya menjadi bulan. Aku masih di sini menanti sebuah jawaban. Jika bukan karena cinta tak mungkin aku dapat bertahan, menunggu sesuatu yang tak pasti. Hanya harapan dari sebuah janji yang keluar dari bibir yang manis sekali. Bagai mantra sihir yang mampu membuatku terpaku dan selalu berharap akan kehadirannya. Atas nama cinta dan kesetiaan begitu klasik memang, tapi itulah kebodohanku. Sebuah kebodohan yang menurutku lebih baik dari pada aku harus berkhianat. Angga adalah sosok seorang yang dapat aku banggakan, walaupun bukan orang berada namun ia mempunyai semangat dan selalu optimis dengan hidup, tak ada yang disesali dalam hidupnya. Mungkin itu bentuk syukurnya, sikapnya yang selalu berpikir poitif yang membuatku menjadi simpatik. Hanya kekuatan hati dan keyakinan yang aku miliki, aku selalu berharap bahwa dia akan kembali dengan sebuah harapan yang sangat aku nantikan tentunya. Entah sampai kapan namun aku yakin suatu hari. Resahku, hampir setiap malam menemani tidurku, menemani sepiku yang berakhir dan berubah menjadi isak tangis yang aku sendiri tidak tahu, kenapa aku menangis. Terkadang terbesit untuk hengkang dari janji itu namun bisikan hati melarangku. Entah keterpaksan atau tidak, yang pasti aku merasa ini ketulusan. Walau bulan menjadi tahun dan kabar tentangnya tak jua sampai padaku namun aku tak pernah berprasangka buruk tentangnya. “Kamu itu tolol” kata Vina padaku. Dia lah sahabat karibku yang selalu menasehati dan memperhatikanku.“Memang, tapi aku tidak mau dibilang penghianat oleh Angga” Jawabku lemah.“Memang kamu tahu, kalau di sana Angga setia? Hah?! Sit!” Lanjut Vina dengan wajah bersungut.“Aku gak tahu, namun aku tak berani untuk menuduhnya dengan pikiran-pikiran seperti itu yang akan mempengaruhi kepercayaanku” Jawabku dengan mata berkaca.“Win, Win….” Vina menggelengkan kepala. Ia merasa capek menasehati aku agar dapat melupakan Angga dan ia mengharapkan agar aku mencoba untuk bisa mencintai orang lain Memang beralasan nasehat Vina, karena selama 3 tahun Angga tak pernah memberikan kabar. Setidaknya tempat dimana dia sekarang ini berada. Surat yang ia tinggalkan ketika akan pergi hanya berisi “berjanjilah sayang untuk setia dan sabar menantiku, suatu hari aku akan datang menemui kamu lalu kita akan hidup bersama” Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, harapan itu tak juga datang. Sedikit demi sedikit terkikis juga dalam hatiku. Kuliahku sebulan lagi selesai dan orang tuaku pasti akan menanyakan tentang masa depanku dan pendampinku. Meskipun orang tuaku tidak pernah memaksakan atau menjodohkan aku, namun diusiaku yang tidak lagi muda menjadi sesuatu beban juga dalam pikiranku. Apalagi kekolotan dalam keluarga besarku yang selalu membicarakan saudaranya sendiri jika ada cela dalam salah satu keluarganya. Perawan tua merupakan aib besar dalam keluargaku. Orang tuaku merasa takut dan malu jika anaknya selalu menjadi gunjingan ketika ada acara besar keluarga. Bisik-bisik yang menyakitkan. Aku pasti akan dibilang sok cantik pilih-pilih pula dalam mencari jodoh. Perawan tua lah, dan entah apa lagi cemoohannya. Batinku semakin berat, hanya pada Tuhan aku berharap semoga aku tabah menjalani ini semua. Karena rasa ini Dia-lah yang menciptakan. Suatu hari pasti akan aku temui harapanku, hanya itu yang menjadi motivasiku. Ketakutanku akhirnya terjadi juga. Setelah lulus kuliah, aku langsung diterima kerja disebuah perusahaan swasta, namun penantianku tak juga mendapat kepastian. Aku mulai dicerca oleh gunjingan. Orang tuaku semakin merasa tertekan, rasa malu mulai merambat benak mereka. Berkali-kali bapak bertanya tentang kehidupanku kedepan. Aku hanya menjawab belum waktunya, karena yang aku tunggu belum juga datang. Dan aku meyakinkan pada mereka bahwa pasti aku akan menikah, tapi tidak secepatnya. Tak tahan dengan gunjingan saudara-saudara penyakit jantung bapak kambuh, dan harus dirawat intensif di rumah sakit. Disela sakitnya bapak memintaku agar jangan pilih-pilih tebu dalam memilih suami, nanti malah keburukan yang akan didapat. Kata-kata bapak membuat dadaku sesak. Aku tidak pilih-pilih dalam hal itu, aku hanya ingin menepati janji untuk menunggu orang yang sudah kupilih untuk menjadi pendapingku.“Angga?, kenapa kamu tak pernah mau mengerti tentang resah ini” Ratapku. Sebagai anak satu-satunya, perempuan pula, apa yang harus aku lakukan?, selama aku hidup rasanya belum pernah membahagiakan orang tuaku. Pikiranku saat ini adalah apakah aku siap jika menikah dengan orang selain Angga? Itu yang menjadi bebanku. Aku takut jika kelak ia kembali dan mendapatkan aku sudah menikah dengan orang lain. Tak dapat kubayangkan hancurnya perasaannya. Aku benar-benar tidak tega jika perjuangannya selama ini hancur seketika hanya gara-gara aku menghianatinya. Namun harus bagaimana aku ini?. Dengan sangat terpaksa aku berbohong, aku bilang pada bapak akan dilamar 3 bulan lagi. Mendengar tuturku wajah bapak berseri seminggu kemudian bapak sembuh. Aku bahagia, namun juga panik dan sedih. Dalam tiga bulan?, akankah Angga datang. Sedang hingga saat ini tak juga aku dapatkan alamatnya. Dalam waktu yang kurasa singkat apakah aku bisa mencintai orang lain selain Angga.“Ya. Allah, aku pasrah padaMu” masalah ini betul-betul sangat menekan perasaanku. Tubuhku semakin kurus kurasakan. Setiap malam kegelisahan merayap berlahan, membuahkan sebuah tangis lirih yang sangat mengiris hati. Mataku tidak akan terpejam sebelum shalat subuh aku kerjakan. Aku benar-benar tidak dapat lagi berfikir dengan tenang. Bayangan Angga, Bapak dan saudara-saudara, melintas bergantian. “Angga, jika bukan karna janji aku tak akan seperti ini, jika bukan karena cinta aku tidak akan setia menunggumu walau tanpa kepastian darimu” desahku sambil berlinang air mata. Aku tatap wajah Angga yang tersenyum manis di balik bingkai kaca di atas meja sudut samping tempat tidurku.****Senja ini gerimis, aku pulang dari tempat kerjaku 1 jam lebih awal. Karena mendadak kepalaku pusing dan pandanganku berkunang-kunang. Aku harus menuruni tangga keluar dari kantorku. Di atas anak tangga aku berhenti. Tiba-tiba aku merasa disekitarku gelap. Tangan kokoh memegang lenganku dan memapahku turun berlahan, lalu didudukan aku di kursi ruang lobi.“Ambilkan air putih” samar suara laki-laki ku dengar. Segera seorang OB membawa segelas air putih, tak menunggu lama air putih yang telah dipegang laki-laki itu telah menempel dibibirku. “Minum win, biar tenang dan jantungmu stabil”Ucapnya. Antara sadar dan tidak aku meneguk sedikit demi sedikit air putih yang disodorkan dibibirku. Rasa dingin segar mengalir kekrongkongan lalu nafasku lega dan detak jantungku tak lagi berdebar. Berlahan ku buka mataku.“Pak Hendra!” Pekikku kaget.“Ada apa dengan saya pak?” Aku masih merasa heran.“Kamu hampir jatuh dari tangga Win, dan kebetulan saat itu saya tepat ada dibelakangmu” Terang pak Hendra.“Terima kasih pak, maaf sekali. saya memang selalu merepotkan” Ucapku kaku. “Sudah, jangan seperti itu. Ini kebetulan saja. Badanmu masih lemah. Kebetulan saya akan keluar menemui clien sekalian saya antar kamu pulang, ayo..mobil sudah menunggu di depan” Tawar pak Hendra ramah. “Terima kasih banyak pak, tapi biarlah saya naik bus saja, saya sudah biasa seperti ini” Tolakku tulus.Aku merasa malu, Pak Hendra adalah bosku. “Sudahlah, menolak berarti kamu tidak menghargai saya” Ucapnya benar-benar membuat aku tak bisa menolak lagi. Aku hanya mengangguk dan berjalan berlahan menuju mobil sedan hitam mengkilat mewah. Di dalam mobil mewah ini, tubuhku seakan mengigil, entah karena dinginnya AC atau karena kegrogianku. Aku gemetar, namun gemetarku tak sampai terlihat oleh pak Hendra karena beliau duduk didepanku. Pak Hendra yang masih muda menjadi bosku. Umurnya sekitar 31 tahuan, selisih 3 tahun denganku. Sungguh laki-laki yang sempurna, wajahnya tampan, cerdas, baik hati, ramah dan dia adalah sosok pemimpin yang bijaksana. Mungkin perusahaan ini maju pesat, karena dipimpin oleh orang yang tepat. Orang yang cerdas dan mampu membuat semua karyawannya mempunyai jiwa loyalitas yang tinggi. Pendekatan yang sangat jarang dimiliki oleh para bos diluaran sana. Pak Hendra, seorang pengusaha muda yang sukses. Namun, tetap saja tak ada kesempurnaan dalam diri setiap manusia. Entah kenapa sampai saat ini Pak Hendra belum juga menikah. Padahal tidak ada lagi yang menjadi pertimbangan untuknya mencari wanita. Sampai saat ini, gosippun tak terdengar kalau dia mempunyai seorang kekasih. Bersama wanitapun tidak pernah ada yang melihat. Kebiasaan buruk memang, dan tidak enak jika anak buah tidak membicarakan bosnya, entah itu membicarakan tentang kebaikannya atau keburukannya dan ini sudah menjadi kebiasaan bagi semua anak buah dimanapun. Yang menjadi topik pembicaraan tempatku bekerja hanyalah tentang kesendirian Pak Hendra. Terkadang terdengar dari salah satu karyawan mengatakan pak Hendra itu Gay, ada juga yang mengatakan Pak Hendra itu trauma, dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang kesendirian Pak Hendra dan selalu menjadi topik hangat setiap hari. Pak Hendra tidak risih, itu yang menjadi keseganan kami. Ia hanya tersenyum saat ada yang kepergok sedang membicarakannya. Aku sendiri berprediksi kalau pak Hendra itu trauma dengan wanita. Mungkin karena dia pernah dikhianati atau pernah disakiti oleh wanita. Tapi wanita tolol mana yang sampai menyiakan cinta pak Hendra. Memang tidak ada habisnya untuk membicarakan orang lain, sampai masalah dalam diri sendiri lupa. Sepanjang perjalanan aku bungkam dan pak Hendra hanya berbicara dengan klien lewat Hpnya. Setengah jam mobil mewah ini berjalan gerimis tak juga reda, suasana kelabu semakin terasa dingin namun menyegarkan.“Di depan gang itu saja pak saya turun” Ucapku memecah keheningan.“Tapi rumahmu masuk kan?” Tanya pak Hendra“Ia pak” jawabku singkat“Ya sudah sekalian saja sampai depan rumahmu” Ucap pak Hendra tegas.“Tapi pak, nanti bapak terlambat menemui klien.”“Tidak jauh kan?, ini masih grimis nanti tambah sakit kamu win”Aku benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi. Tepat didepan rumah mobil berhenti. Susana rumahku lengang. Ini sudah biasa, aku keluar dari dalam mobil mewah pak Hendra mengantarku sampai depan pintu rumah. Perasaan malu sangat aku rasakan entah kenapa. Pintu terbuka sebelum aku sempat memencet bel, kepala ibu menyebul dari balik pintu. Terlihat dari wajahnya ada keterkejutan melihat aku dan Pak Hendra dan senyumnya menggambarkan harapan dan kebahagiaan. Ibu menatapku, lalu memegang wajahku.“Kamu pucat sekali, kamu sakit sayang?” Ucap ibu lembut namun penuh dengan kekhwatiran.“Iya bu, Windi tadi pingsan dikantor, dan kebetulan saya memang akan keluar untuk menemui klien jadi sekalian antar Windi” sambar Pak Hendra.“Aduh terima kasih mas” Ucap ibu tulus. Pak Hendra mengulurkan tangan.“Saya Hendra bu, teman kerjanya Windi” Ucap Pak Hendra setengah berbohong.“O, ya mari masuk dulu” Tawar ibu bukan basa-basi.“Terima kasih bu, saya buru-buru” Tolak Pak Hendra disertai senyum khasnya, senyuman yang menawan setiap orang yang melihatnya.“Maaf ya nak Hendra sudah merepotkan” Ucap ibu tulus“O, tidak apa-apa bu, saya pamit assalamualaikum” Pak Hendra berlalu setengah berlari menuju mobilnya karena gerimis semakin deras mengguyur.“Walaikumsalam” Jawab ibu dan aku bersamaan. Aku dipapah ibu ke kamar, punggung tangan ibu menempel dikeningku.“Badanmu panas win” Ucapnya Panik“Win sudah minum obat kok bu, hanya kelelahan saja, istirahat dulu ya bu, Win capek” Ucapku lemah.Ibu hanya mengangguk sambil menyelimuti tubuhku lalu mengecuk keningku. ****Pagi yang cerah, tubuhku sudah sehat terasa. Aku buka jendela kamar dan sinar matahari pagi menerobos masuk menghangatkan ruang kamarku. Masih dipinggir jendela aku tersenyum melihat sisa embun di ujung daun jeruk nipis kemilau tersinar matahari bagai mutiara murni. Ibu sengaja menanam pohon-pohon di samping rumah karena ibu mencintai kehijauan. Lagi pula sejuk rasanya kalau ada pohon-pohon didekat rumah, rumah jadi sehat dan asri. Sisa gerimis semalam ternyata menyegarkan suasana pagi. Belum puas aku menikmati segarnya pagi suara bel berbunyi. Terpaksa aku keluar kamar namun ibu sudah lebih dulu sampai di ruang tamu. Aku lihat ibu menyibakan tirai jendela sebelum mebukakan pintu.“E..nak Hendra, mari masuk” Ucap ibu. Aku terkejut bukan kepalang. Pagi-pagi begini Pak Hendra kerumahku. Aku belum sempat cuci muka, apalagi mandi. Aku benar-benar panik segera aku ambil handuk yang menggantung di balik pintu kamarku, setengah berlari aku masuk kamar mandi. Ibu sudah sudah asik ngobrol pagi-pagi dengan Pak Hendra.“Win Sudah sehat bu?” Tanya Pak Hendra.“Sudah, sebentar saya panggilkan” Jawab ibu sambil berlalu menuju kamarku. Aku keluar dari kamar mandi, ibu langsung mendekati aku.“Win, Hendra datang. Siapa dia?” pertanyaan Ibu mengejutkan aku.“Pak Hendra adalah bosku bu” jawabku.“Bos mu?, “ ibu mengerutkan kening“Iya, kalau nggak percaya liahat nanti apa yang kami bicarakan” Aku keluar kamar dan menemui Pak Hendra“Pak Hendra. Maaf saya baru mandi. “ Sapaku. Pak Hendra menatapku dengan tatapan yang tidak biasa menurutku. Tajam namun teduh. Ada setitik kecemasan dan keceriaan di sana.“O, sudah sehat Win?”“Alhamdulilah pak. Ini ada apa pagi-pagi sekali?” tanyaku heran.“Saya hanya ingin jenguk kamu, kalau kamu sudah sehat ya sekalian kita bareng ke kantor” Ucapnya lagi-lagi membuat aku tak bisa menolaknya. Ibu yang mendengar pembicaraanku mengangguk percaya dengan penjelasanku, sambil membawa segelas teh hangat ia menyuruhku agar cepat berkemas. “Diminum nak Hendra” “Terima kasih, wah jadi merepotkan ini” katanya disertai senyumIbu ikut tersenyum.“Tidak, tidak merepotkan justru kami yang merepotkan. Sampai seorang bos menjemput anak buahnya” Tawa pun pecah.“Ah Windi pasti cerita siapa saya ya bu?”“Iya, habis ibu penasaran. Karena Windi tidak biasanya pulang dengan seorang laki-laki.” Ucap ibu serius“Oya. Windi tidak pernah di antar atau di jemput pacarnya atau teman laki-laki?” Tanya Hendra penasaran.“Pacar?, Windi kok punya pacar gadis rumahan seperti Windi tidak akan punya pacar, sebab tidak ada yang tahu kalau rumah ini punya anak gadis. Berangkat kerja pagi pulang sore dan hari minggu ndekem aja dikamar. Gimana mau ada laki-laki yang tahu” Jawab ibu panjang. Pak Hendra hanya manggut-manggut. Aku keluar sudah dengan pakaian kerjaku. Baju blazer hitam, kaca mata dan tas menyangkut dipundakku. Setelah berpamitan aku dan Pak Hendra menuju mobil mewah yang sudah parkir di depan rumah.Walau segan aku coba bersikap biasa saja ketika ada di dalam mobil mewah pak Hendra. Sejak saat itu hari-hariku menjadi hari-hari yang aneh. Sebab Pak Hendra setiap pagi menjemputku dan pulang selalu bersamaku. Aku menjadi gosip palih hot di kantor.“Wah ketiban duren nih” Ledek Indri teman kerjaku.“Iya sakit banget” Balas canda ku. Dua bulan setengah. Waktu singkat menurutku. Pak Hendra beranikan diri untuk melamarku. Entah rasa apa yang aku rasakan yang pasti panik, sedih, senang bahagia bangga bercampur aduk jadi satu. Kemarin aku sendiri yang bilang perempuan mana yang tolol menolak pak Hendra yang begitu kaya, baik tampak dan cerdas. Sekarang masalahku bertambah. Yang kuharapkan tak juga datang, hadir Pak Hendra yang dapat membuat kedua orang tuaku merasa bangga dan bahagia. Walaupun kesempurnaan terdapat pada diri pak Hendra namun hati ku tak tergoda sedikitpun. Hatiku masih saja menyebut-nyebut nama Angga. Aku benar-benar tak dapat melupakannya. Ini cinta bagiku, karena statusnya tak dapat digantikan oleh siapapun dan apapun. Rasa yang aku miliki pada Angga tak ku miliki pada diri Pak Hendra. Kenapa?. Hal ini yang aku takutkan, aku takut ada keterpaksaan pada hatiku, meskipun sudah sekuat tenaga aku paksakan untuk dapat menerima Pak Hendra dengan harapan aku bisa jatuh cinta karena kesempurnaannya. Tapi tetap tidak bisa. Angga satu-satunya yang aku cintai. Namun, hingga saat ini tak juga ada kabar tentangnya. Pertimbanganku sudah pas. Karena aku minta pada pak Hendra tunggu tepat tiga bulan.“Pak Maaf, saya minta agar pas tiga bulan baru saya akan beri tahu jawabannya” Kataku pak hendrapun setuju. Kini waktunya telah tiba dan jawaban harus aku berikan pada pak Hendra. Bayangan orang tuaku yang bangga dan bahagia membuatku ingin menerima lamaran Pak Hendra, bayangan saudara-saudaraku yang mengejekku dan mentertawakan aku memotivasi aku untuk menerima Pak Hendra dan bayangan Angga yang tersenyum? Aduh,. Membuat perih dadaku.“Maaf kan aku sayang?, tidak bisa memegang janjiku. Bayak alasan yang aku berikan untukmu, kenapa aku ingkari janji ini” desahku. Aku terima lamaran Pak Hendra. Seminggu lagi aku menikah. Dapat dibayangkan bagaimana resepsi pernikahan orang-orang kaya. Semua ternyata sudah dipersiapkan Pak Hendra jauh sebelum dia melamarku. Aku benar-benar tidak menyakan, selama ini Pak Hendra benar-benar memperhatikan aku. Akad nikah dimulai, aku pejamkan mataku. Bayangan Angga datang , aku buka mataku bersama air mata menitik di sudut mataku. Aku benar-benar merasa hina karena semua cinta dan kesetiaanku aku lepas begitu saja. Aku seorang penghianat. Akad nikah selesai, aku dan Pak Hendrapun duduk di pelaminan para tamu undangan menyantap menu yang disediakan, aluan musik klasik menambah keromantisan. Batinku tidak di sini tapi entah dimana, aku resah dan rasa bersalah meyelimuti hatiku. Sebelum bertemu Angga aku tidak akan lepas dari semua dosa ini. Hanya kata maaf yang aku butuhkan dari Angga. Tapi kapan, dimana?. Aku benar-benar tersiksa. Pestapun hampir usai mobil sedan mewah berhenti. Seorang laki-laki keluar dari dalam mobil. Aku tercengang melihatnya. “Angga…” tak sadar aku berdiri tak peduli Pak Hendra melihatku heran.Angga melangkah, dengan tegang tak ada senyum dibibirnya. Ia langsung kepelaminan menjabat tangan Pak Hendra“Selamat” katanyaLalu kepadaku dan meyelipkan lipatan kertas“Penghianat” ucapnya lirih. Aku benar-benar merasa malu, sakit dan kesal. Kenapa ia baru datang ketika aku sudah ada di pelaminan. Kenapa.? Kenapa?..” jerit batinku.Angga melangkah meninggalkan kami dan menuju mobil mewah. Lalu melesat pergi. Surat Angga aku baca di kamar mandi.“aku tak menyangka, hari ketika aku kembali kau sudah ada yang punya. Aku merasa bersalah kenapa tak ada kabar buatmu. Itu pasti alasan mu kenapa kamu menikah. Aku mengerti, tapi kamu tidak akan pernah mengerti kenapa aku tak berikan kabar buatmu. Aku sudah berjanji. Semua yang aku lakukan demi kamu, buat kamu dan karena kamu. Keberhasilanku karena kamu, terima kasih. Tapi semua ini untuk apa? Orang yang aku cintai dan yang berhak menerima ini semua telah pergi. Maafkan aku Windi. Aku doakan semoga kamu dapat bahagia dengannya.” Aku terisak, sedih dan entah apa lagi yang aku rasakan. Semua ini sudah aku bayangkan. Namun kenyataannya lebih sakit. Sangat meyakitkan. Orang yang aku dambakan, kembali dan terlambat haya beberapa jam. Seandainya dia datang sebelum akad nikah dimulai aku akan korbankan maluku untuknya. Tapi ini kehendakNya. Aku yakin.