Selasa, 22 Maret 2011

Penantian Yang Menyakitkan

Detik telah berganti menjadi menit lalu jam dan menjadi hari lalu keminggu selanjutnya menjadi bulan. Aku masih di sini menanti sebuah jawaban. Jika bukan karena cinta tak mungkin aku dapat bertahan, menunggu sesuatu yang tak pasti. Hanya harapan dari sebuah janji yang keluar dari bibir yang manis sekali. Bagai mantra sihir yang mampu membuatku terpaku dan selalu berharap akan kehadirannya. Atas nama cinta dan kesetiaan begitu klasik memang, tapi itulah kebodohanku. Sebuah kebodohan yang menurutku lebih baik dari pada aku harus berkhianat. Angga adalah sosok seorang yang dapat aku banggakan, walaupun bukan orang berada namun ia mempunyai semangat dan selalu optimis dengan hidup, tak ada yang disesali dalam hidupnya. Mungkin itu bentuk syukurnya, sikapnya yang selalu berpikir poitif yang membuatku menjadi simpatik. Hanya kekuatan hati dan keyakinan yang aku miliki, aku selalu berharap bahwa dia akan kembali dengan sebuah harapan yang sangat aku nantikan tentunya. Entah sampai kapan namun aku yakin suatu hari. Resahku, hampir setiap malam menemani tidurku, menemani sepiku yang berakhir dan berubah menjadi isak tangis yang aku sendiri tidak tahu, kenapa aku menangis. Terkadang terbesit untuk hengkang dari janji itu namun bisikan hati melarangku. Entah keterpaksan atau tidak, yang pasti aku merasa ini ketulusan. Walau bulan menjadi tahun dan kabar tentangnya tak jua sampai padaku namun aku tak pernah berprasangka buruk tentangnya. “Kamu itu tolol” kata Vina padaku. Dia lah sahabat karibku yang selalu menasehati dan memperhatikanku.“Memang, tapi aku tidak mau dibilang penghianat oleh Angga” Jawabku lemah.“Memang kamu tahu, kalau di sana Angga setia? Hah?! Sit!” Lanjut Vina dengan wajah bersungut.“Aku gak tahu, namun aku tak berani untuk menuduhnya dengan pikiran-pikiran seperti itu yang akan mempengaruhi kepercayaanku” Jawabku dengan mata berkaca.“Win, Win….” Vina menggelengkan kepala. Ia merasa capek menasehati aku agar dapat melupakan Angga dan ia mengharapkan agar aku mencoba untuk bisa mencintai orang lain Memang beralasan nasehat Vina, karena selama 3 tahun Angga tak pernah memberikan kabar. Setidaknya tempat dimana dia sekarang ini berada. Surat yang ia tinggalkan ketika akan pergi hanya berisi “berjanjilah sayang untuk setia dan sabar menantiku, suatu hari aku akan datang menemui kamu lalu kita akan hidup bersama” Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, harapan itu tak juga datang. Sedikit demi sedikit terkikis juga dalam hatiku. Kuliahku sebulan lagi selesai dan orang tuaku pasti akan menanyakan tentang masa depanku dan pendampinku. Meskipun orang tuaku tidak pernah memaksakan atau menjodohkan aku, namun diusiaku yang tidak lagi muda menjadi sesuatu beban juga dalam pikiranku. Apalagi kekolotan dalam keluarga besarku yang selalu membicarakan saudaranya sendiri jika ada cela dalam salah satu keluarganya. Perawan tua merupakan aib besar dalam keluargaku. Orang tuaku merasa takut dan malu jika anaknya selalu menjadi gunjingan ketika ada acara besar keluarga. Bisik-bisik yang menyakitkan. Aku pasti akan dibilang sok cantik pilih-pilih pula dalam mencari jodoh. Perawan tua lah, dan entah apa lagi cemoohannya. Batinku semakin berat, hanya pada Tuhan aku berharap semoga aku tabah menjalani ini semua. Karena rasa ini Dia-lah yang menciptakan. Suatu hari pasti akan aku temui harapanku, hanya itu yang menjadi motivasiku. Ketakutanku akhirnya terjadi juga. Setelah lulus kuliah, aku langsung diterima kerja disebuah perusahaan swasta, namun penantianku tak juga mendapat kepastian. Aku mulai dicerca oleh gunjingan. Orang tuaku semakin merasa tertekan, rasa malu mulai merambat benak mereka. Berkali-kali bapak bertanya tentang kehidupanku kedepan. Aku hanya menjawab belum waktunya, karena yang aku tunggu belum juga datang. Dan aku meyakinkan pada mereka bahwa pasti aku akan menikah, tapi tidak secepatnya. Tak tahan dengan gunjingan saudara-saudara penyakit jantung bapak kambuh, dan harus dirawat intensif di rumah sakit. Disela sakitnya bapak memintaku agar jangan pilih-pilih tebu dalam memilih suami, nanti malah keburukan yang akan didapat. Kata-kata bapak membuat dadaku sesak. Aku tidak pilih-pilih dalam hal itu, aku hanya ingin menepati janji untuk menunggu orang yang sudah kupilih untuk menjadi pendapingku.“Angga?, kenapa kamu tak pernah mau mengerti tentang resah ini” Ratapku. Sebagai anak satu-satunya, perempuan pula, apa yang harus aku lakukan?, selama aku hidup rasanya belum pernah membahagiakan orang tuaku. Pikiranku saat ini adalah apakah aku siap jika menikah dengan orang selain Angga? Itu yang menjadi bebanku. Aku takut jika kelak ia kembali dan mendapatkan aku sudah menikah dengan orang lain. Tak dapat kubayangkan hancurnya perasaannya. Aku benar-benar tidak tega jika perjuangannya selama ini hancur seketika hanya gara-gara aku menghianatinya. Namun harus bagaimana aku ini?. Dengan sangat terpaksa aku berbohong, aku bilang pada bapak akan dilamar 3 bulan lagi. Mendengar tuturku wajah bapak berseri seminggu kemudian bapak sembuh. Aku bahagia, namun juga panik dan sedih. Dalam tiga bulan?, akankah Angga datang. Sedang hingga saat ini tak juga aku dapatkan alamatnya. Dalam waktu yang kurasa singkat apakah aku bisa mencintai orang lain selain Angga.“Ya. Allah, aku pasrah padaMu” masalah ini betul-betul sangat menekan perasaanku. Tubuhku semakin kurus kurasakan. Setiap malam kegelisahan merayap berlahan, membuahkan sebuah tangis lirih yang sangat mengiris hati. Mataku tidak akan terpejam sebelum shalat subuh aku kerjakan. Aku benar-benar tidak dapat lagi berfikir dengan tenang. Bayangan Angga, Bapak dan saudara-saudara, melintas bergantian. “Angga, jika bukan karna janji aku tak akan seperti ini, jika bukan karena cinta aku tidak akan setia menunggumu walau tanpa kepastian darimu” desahku sambil berlinang air mata. Aku tatap wajah Angga yang tersenyum manis di balik bingkai kaca di atas meja sudut samping tempat tidurku.****Senja ini gerimis, aku pulang dari tempat kerjaku 1 jam lebih awal. Karena mendadak kepalaku pusing dan pandanganku berkunang-kunang. Aku harus menuruni tangga keluar dari kantorku. Di atas anak tangga aku berhenti. Tiba-tiba aku merasa disekitarku gelap. Tangan kokoh memegang lenganku dan memapahku turun berlahan, lalu didudukan aku di kursi ruang lobi.“Ambilkan air putih” samar suara laki-laki ku dengar. Segera seorang OB membawa segelas air putih, tak menunggu lama air putih yang telah dipegang laki-laki itu telah menempel dibibirku. “Minum win, biar tenang dan jantungmu stabil”Ucapnya. Antara sadar dan tidak aku meneguk sedikit demi sedikit air putih yang disodorkan dibibirku. Rasa dingin segar mengalir kekrongkongan lalu nafasku lega dan detak jantungku tak lagi berdebar. Berlahan ku buka mataku.“Pak Hendra!” Pekikku kaget.“Ada apa dengan saya pak?” Aku masih merasa heran.“Kamu hampir jatuh dari tangga Win, dan kebetulan saat itu saya tepat ada dibelakangmu” Terang pak Hendra.“Terima kasih pak, maaf sekali. saya memang selalu merepotkan” Ucapku kaku. “Sudah, jangan seperti itu. Ini kebetulan saja. Badanmu masih lemah. Kebetulan saya akan keluar menemui clien sekalian saya antar kamu pulang, ayo..mobil sudah menunggu di depan” Tawar pak Hendra ramah. “Terima kasih banyak pak, tapi biarlah saya naik bus saja, saya sudah biasa seperti ini” Tolakku tulus.Aku merasa malu, Pak Hendra adalah bosku. “Sudahlah, menolak berarti kamu tidak menghargai saya” Ucapnya benar-benar membuat aku tak bisa menolak lagi. Aku hanya mengangguk dan berjalan berlahan menuju mobil sedan hitam mengkilat mewah. Di dalam mobil mewah ini, tubuhku seakan mengigil, entah karena dinginnya AC atau karena kegrogianku. Aku gemetar, namun gemetarku tak sampai terlihat oleh pak Hendra karena beliau duduk didepanku. Pak Hendra yang masih muda menjadi bosku. Umurnya sekitar 31 tahuan, selisih 3 tahun denganku. Sungguh laki-laki yang sempurna, wajahnya tampan, cerdas, baik hati, ramah dan dia adalah sosok pemimpin yang bijaksana. Mungkin perusahaan ini maju pesat, karena dipimpin oleh orang yang tepat. Orang yang cerdas dan mampu membuat semua karyawannya mempunyai jiwa loyalitas yang tinggi. Pendekatan yang sangat jarang dimiliki oleh para bos diluaran sana. Pak Hendra, seorang pengusaha muda yang sukses. Namun, tetap saja tak ada kesempurnaan dalam diri setiap manusia. Entah kenapa sampai saat ini Pak Hendra belum juga menikah. Padahal tidak ada lagi yang menjadi pertimbangan untuknya mencari wanita. Sampai saat ini, gosippun tak terdengar kalau dia mempunyai seorang kekasih. Bersama wanitapun tidak pernah ada yang melihat. Kebiasaan buruk memang, dan tidak enak jika anak buah tidak membicarakan bosnya, entah itu membicarakan tentang kebaikannya atau keburukannya dan ini sudah menjadi kebiasaan bagi semua anak buah dimanapun. Yang menjadi topik pembicaraan tempatku bekerja hanyalah tentang kesendirian Pak Hendra. Terkadang terdengar dari salah satu karyawan mengatakan pak Hendra itu Gay, ada juga yang mengatakan Pak Hendra itu trauma, dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang kesendirian Pak Hendra dan selalu menjadi topik hangat setiap hari. Pak Hendra tidak risih, itu yang menjadi keseganan kami. Ia hanya tersenyum saat ada yang kepergok sedang membicarakannya. Aku sendiri berprediksi kalau pak Hendra itu trauma dengan wanita. Mungkin karena dia pernah dikhianati atau pernah disakiti oleh wanita. Tapi wanita tolol mana yang sampai menyiakan cinta pak Hendra. Memang tidak ada habisnya untuk membicarakan orang lain, sampai masalah dalam diri sendiri lupa. Sepanjang perjalanan aku bungkam dan pak Hendra hanya berbicara dengan klien lewat Hpnya. Setengah jam mobil mewah ini berjalan gerimis tak juga reda, suasana kelabu semakin terasa dingin namun menyegarkan.“Di depan gang itu saja pak saya turun” Ucapku memecah keheningan.“Tapi rumahmu masuk kan?” Tanya pak Hendra“Ia pak” jawabku singkat“Ya sudah sekalian saja sampai depan rumahmu” Ucap pak Hendra tegas.“Tapi pak, nanti bapak terlambat menemui klien.”“Tidak jauh kan?, ini masih grimis nanti tambah sakit kamu win”Aku benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi. Tepat didepan rumah mobil berhenti. Susana rumahku lengang. Ini sudah biasa, aku keluar dari dalam mobil mewah pak Hendra mengantarku sampai depan pintu rumah. Perasaan malu sangat aku rasakan entah kenapa. Pintu terbuka sebelum aku sempat memencet bel, kepala ibu menyebul dari balik pintu. Terlihat dari wajahnya ada keterkejutan melihat aku dan Pak Hendra dan senyumnya menggambarkan harapan dan kebahagiaan. Ibu menatapku, lalu memegang wajahku.“Kamu pucat sekali, kamu sakit sayang?” Ucap ibu lembut namun penuh dengan kekhwatiran.“Iya bu, Windi tadi pingsan dikantor, dan kebetulan saya memang akan keluar untuk menemui klien jadi sekalian antar Windi” sambar Pak Hendra.“Aduh terima kasih mas” Ucap ibu tulus. Pak Hendra mengulurkan tangan.“Saya Hendra bu, teman kerjanya Windi” Ucap Pak Hendra setengah berbohong.“O, ya mari masuk dulu” Tawar ibu bukan basa-basi.“Terima kasih bu, saya buru-buru” Tolak Pak Hendra disertai senyum khasnya, senyuman yang menawan setiap orang yang melihatnya.“Maaf ya nak Hendra sudah merepotkan” Ucap ibu tulus“O, tidak apa-apa bu, saya pamit assalamualaikum” Pak Hendra berlalu setengah berlari menuju mobilnya karena gerimis semakin deras mengguyur.“Walaikumsalam” Jawab ibu dan aku bersamaan. Aku dipapah ibu ke kamar, punggung tangan ibu menempel dikeningku.“Badanmu panas win” Ucapnya Panik“Win sudah minum obat kok bu, hanya kelelahan saja, istirahat dulu ya bu, Win capek” Ucapku lemah.Ibu hanya mengangguk sambil menyelimuti tubuhku lalu mengecuk keningku. ****Pagi yang cerah, tubuhku sudah sehat terasa. Aku buka jendela kamar dan sinar matahari pagi menerobos masuk menghangatkan ruang kamarku. Masih dipinggir jendela aku tersenyum melihat sisa embun di ujung daun jeruk nipis kemilau tersinar matahari bagai mutiara murni. Ibu sengaja menanam pohon-pohon di samping rumah karena ibu mencintai kehijauan. Lagi pula sejuk rasanya kalau ada pohon-pohon didekat rumah, rumah jadi sehat dan asri. Sisa gerimis semalam ternyata menyegarkan suasana pagi. Belum puas aku menikmati segarnya pagi suara bel berbunyi. Terpaksa aku keluar kamar namun ibu sudah lebih dulu sampai di ruang tamu. Aku lihat ibu menyibakan tirai jendela sebelum mebukakan pintu.“E..nak Hendra, mari masuk” Ucap ibu. Aku terkejut bukan kepalang. Pagi-pagi begini Pak Hendra kerumahku. Aku belum sempat cuci muka, apalagi mandi. Aku benar-benar panik segera aku ambil handuk yang menggantung di balik pintu kamarku, setengah berlari aku masuk kamar mandi. Ibu sudah sudah asik ngobrol pagi-pagi dengan Pak Hendra.“Win Sudah sehat bu?” Tanya Pak Hendra.“Sudah, sebentar saya panggilkan” Jawab ibu sambil berlalu menuju kamarku. Aku keluar dari kamar mandi, ibu langsung mendekati aku.“Win, Hendra datang. Siapa dia?” pertanyaan Ibu mengejutkan aku.“Pak Hendra adalah bosku bu” jawabku.“Bos mu?, “ ibu mengerutkan kening“Iya, kalau nggak percaya liahat nanti apa yang kami bicarakan” Aku keluar kamar dan menemui Pak Hendra“Pak Hendra. Maaf saya baru mandi. “ Sapaku. Pak Hendra menatapku dengan tatapan yang tidak biasa menurutku. Tajam namun teduh. Ada setitik kecemasan dan keceriaan di sana.“O, sudah sehat Win?”“Alhamdulilah pak. Ini ada apa pagi-pagi sekali?” tanyaku heran.“Saya hanya ingin jenguk kamu, kalau kamu sudah sehat ya sekalian kita bareng ke kantor” Ucapnya lagi-lagi membuat aku tak bisa menolaknya. Ibu yang mendengar pembicaraanku mengangguk percaya dengan penjelasanku, sambil membawa segelas teh hangat ia menyuruhku agar cepat berkemas. “Diminum nak Hendra” “Terima kasih, wah jadi merepotkan ini” katanya disertai senyumIbu ikut tersenyum.“Tidak, tidak merepotkan justru kami yang merepotkan. Sampai seorang bos menjemput anak buahnya” Tawa pun pecah.“Ah Windi pasti cerita siapa saya ya bu?”“Iya, habis ibu penasaran. Karena Windi tidak biasanya pulang dengan seorang laki-laki.” Ucap ibu serius“Oya. Windi tidak pernah di antar atau di jemput pacarnya atau teman laki-laki?” Tanya Hendra penasaran.“Pacar?, Windi kok punya pacar gadis rumahan seperti Windi tidak akan punya pacar, sebab tidak ada yang tahu kalau rumah ini punya anak gadis. Berangkat kerja pagi pulang sore dan hari minggu ndekem aja dikamar. Gimana mau ada laki-laki yang tahu” Jawab ibu panjang. Pak Hendra hanya manggut-manggut. Aku keluar sudah dengan pakaian kerjaku. Baju blazer hitam, kaca mata dan tas menyangkut dipundakku. Setelah berpamitan aku dan Pak Hendra menuju mobil mewah yang sudah parkir di depan rumah.Walau segan aku coba bersikap biasa saja ketika ada di dalam mobil mewah pak Hendra. Sejak saat itu hari-hariku menjadi hari-hari yang aneh. Sebab Pak Hendra setiap pagi menjemputku dan pulang selalu bersamaku. Aku menjadi gosip palih hot di kantor.“Wah ketiban duren nih” Ledek Indri teman kerjaku.“Iya sakit banget” Balas canda ku. Dua bulan setengah. Waktu singkat menurutku. Pak Hendra beranikan diri untuk melamarku. Entah rasa apa yang aku rasakan yang pasti panik, sedih, senang bahagia bangga bercampur aduk jadi satu. Kemarin aku sendiri yang bilang perempuan mana yang tolol menolak pak Hendra yang begitu kaya, baik tampak dan cerdas. Sekarang masalahku bertambah. Yang kuharapkan tak juga datang, hadir Pak Hendra yang dapat membuat kedua orang tuaku merasa bangga dan bahagia. Walaupun kesempurnaan terdapat pada diri pak Hendra namun hati ku tak tergoda sedikitpun. Hatiku masih saja menyebut-nyebut nama Angga. Aku benar-benar tak dapat melupakannya. Ini cinta bagiku, karena statusnya tak dapat digantikan oleh siapapun dan apapun. Rasa yang aku miliki pada Angga tak ku miliki pada diri Pak Hendra. Kenapa?. Hal ini yang aku takutkan, aku takut ada keterpaksaan pada hatiku, meskipun sudah sekuat tenaga aku paksakan untuk dapat menerima Pak Hendra dengan harapan aku bisa jatuh cinta karena kesempurnaannya. Tapi tetap tidak bisa. Angga satu-satunya yang aku cintai. Namun, hingga saat ini tak juga ada kabar tentangnya. Pertimbanganku sudah pas. Karena aku minta pada pak Hendra tunggu tepat tiga bulan.“Pak Maaf, saya minta agar pas tiga bulan baru saya akan beri tahu jawabannya” Kataku pak hendrapun setuju. Kini waktunya telah tiba dan jawaban harus aku berikan pada pak Hendra. Bayangan orang tuaku yang bangga dan bahagia membuatku ingin menerima lamaran Pak Hendra, bayangan saudara-saudaraku yang mengejekku dan mentertawakan aku memotivasi aku untuk menerima Pak Hendra dan bayangan Angga yang tersenyum? Aduh,. Membuat perih dadaku.“Maaf kan aku sayang?, tidak bisa memegang janjiku. Bayak alasan yang aku berikan untukmu, kenapa aku ingkari janji ini” desahku. Aku terima lamaran Pak Hendra. Seminggu lagi aku menikah. Dapat dibayangkan bagaimana resepsi pernikahan orang-orang kaya. Semua ternyata sudah dipersiapkan Pak Hendra jauh sebelum dia melamarku. Aku benar-benar tidak menyakan, selama ini Pak Hendra benar-benar memperhatikan aku. Akad nikah dimulai, aku pejamkan mataku. Bayangan Angga datang , aku buka mataku bersama air mata menitik di sudut mataku. Aku benar-benar merasa hina karena semua cinta dan kesetiaanku aku lepas begitu saja. Aku seorang penghianat. Akad nikah selesai, aku dan Pak Hendrapun duduk di pelaminan para tamu undangan menyantap menu yang disediakan, aluan musik klasik menambah keromantisan. Batinku tidak di sini tapi entah dimana, aku resah dan rasa bersalah meyelimuti hatiku. Sebelum bertemu Angga aku tidak akan lepas dari semua dosa ini. Hanya kata maaf yang aku butuhkan dari Angga. Tapi kapan, dimana?. Aku benar-benar tersiksa. Pestapun hampir usai mobil sedan mewah berhenti. Seorang laki-laki keluar dari dalam mobil. Aku tercengang melihatnya. “Angga…” tak sadar aku berdiri tak peduli Pak Hendra melihatku heran.Angga melangkah, dengan tegang tak ada senyum dibibirnya. Ia langsung kepelaminan menjabat tangan Pak Hendra“Selamat” katanyaLalu kepadaku dan meyelipkan lipatan kertas“Penghianat” ucapnya lirih. Aku benar-benar merasa malu, sakit dan kesal. Kenapa ia baru datang ketika aku sudah ada di pelaminan. Kenapa.? Kenapa?..” jerit batinku.Angga melangkah meninggalkan kami dan menuju mobil mewah. Lalu melesat pergi. Surat Angga aku baca di kamar mandi.“aku tak menyangka, hari ketika aku kembali kau sudah ada yang punya. Aku merasa bersalah kenapa tak ada kabar buatmu. Itu pasti alasan mu kenapa kamu menikah. Aku mengerti, tapi kamu tidak akan pernah mengerti kenapa aku tak berikan kabar buatmu. Aku sudah berjanji. Semua yang aku lakukan demi kamu, buat kamu dan karena kamu. Keberhasilanku karena kamu, terima kasih. Tapi semua ini untuk apa? Orang yang aku cintai dan yang berhak menerima ini semua telah pergi. Maafkan aku Windi. Aku doakan semoga kamu dapat bahagia dengannya.” Aku terisak, sedih dan entah apa lagi yang aku rasakan. Semua ini sudah aku bayangkan. Namun kenyataannya lebih sakit. Sangat meyakitkan. Orang yang aku dambakan, kembali dan terlambat haya beberapa jam. Seandainya dia datang sebelum akad nikah dimulai aku akan korbankan maluku untuknya. Tapi ini kehendakNya. Aku yakin.


Detik telah berganti menjadi menit lalu jam dan menjadi hari lalu keminggu selanjutnya menjadi bulan. Aku masih di sini menanti sebuah jawaban. Jika bukan karena cinta tak mungkin aku dapat bertahan, menunggu sesuatu yang tak pasti. Hanya harapan dari sebuah janji yang keluar dari bibir yang manis sekali. Bagai mantra sihir yang mampu membuatku terpaku dan selalu berharap akan kehadirannya. Atas nama cinta dan kesetiaan begitu klasik memang, tapi itulah kebodohanku. Sebuah kebodohan yang menurutku lebih baik dari pada aku harus berkhianat. Angga adalah sosok seorang yang dapat aku banggakan, walaupun bukan orang berada namun ia mempunyai semangat dan selalu optimis dengan hidup, tak ada yang disesali dalam hidupnya. Mungkin itu bentuk syukurnya, sikapnya yang selalu berpikir poitif yang membuatku menjadi simpatik. Hanya kekuatan hati dan keyakinan yang aku miliki, aku selalu berharap bahwa dia akan kembali dengan sebuah harapan yang sangat aku nantikan tentunya. Entah sampai kapan namun aku yakin suatu hari. Resahku, hampir setiap malam menemani tidurku, menemani sepiku yang berakhir dan berubah menjadi isak tangis yang aku sendiri tidak tahu, kenapa aku menangis. Terkadang terbesit untuk hengkang dari janji itu namun bisikan hati melarangku. Entah keterpaksan atau tidak, yang pasti aku merasa ini ketulusan. Walau bulan menjadi tahun dan kabar tentangnya tak jua sampai padaku namun aku tak pernah berprasangka buruk tentangnya. “Kamu itu tolol” kata Vina padaku. Dia lah sahabat karibku yang selalu menasehati dan memperhatikanku.“Memang, tapi aku tidak mau dibilang penghianat oleh Angga” Jawabku lemah.“Memang kamu tahu, kalau di sana Angga setia? Hah?! Sit!” Lanjut Vina dengan wajah bersungut.“Aku gak tahu, namun aku tak berani untuk menuduhnya dengan pikiran-pikiran seperti itu yang akan mempengaruhi kepercayaanku” Jawabku dengan mata berkaca.“Win, Win….” Vina menggelengkan kepala. Ia merasa capek menasehati aku agar dapat melupakan Angga dan ia mengharapkan agar aku mencoba untuk bisa mencintai orang lain Memang beralasan nasehat Vina, karena selama 3 tahun Angga tak pernah memberikan kabar. Setidaknya tempat dimana dia sekarang ini berada. Surat yang ia tinggalkan ketika akan pergi hanya berisi “berjanjilah sayang untuk setia dan sabar menantiku, suatu hari aku akan datang menemui kamu lalu kita akan hidup bersama” Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, harapan itu tak juga datang. Sedikit demi sedikit terkikis juga dalam hatiku. Kuliahku sebulan lagi selesai dan orang tuaku pasti akan menanyakan tentang masa depanku dan pendampinku. Meskipun orang tuaku tidak pernah memaksakan atau menjodohkan aku, namun diusiaku yang tidak lagi muda menjadi sesuatu beban juga dalam pikiranku. Apalagi kekolotan dalam keluarga besarku yang selalu membicarakan saudaranya sendiri jika ada cela dalam salah satu keluarganya. Perawan tua merupakan aib besar dalam keluargaku. Orang tuaku merasa takut dan malu jika anaknya selalu menjadi gunjingan ketika ada acara besar keluarga. Bisik-bisik yang menyakitkan. Aku pasti akan dibilang sok cantik pilih-pilih pula dalam mencari jodoh. Perawan tua lah, dan entah apa lagi cemoohannya. Batinku semakin berat, hanya pada Tuhan aku berharap semoga aku tabah menjalani ini semua. Karena rasa ini Dia-lah yang menciptakan. Suatu hari pasti akan aku temui harapanku, hanya itu yang menjadi motivasiku. Ketakutanku akhirnya terjadi juga. Setelah lulus kuliah, aku langsung diterima kerja disebuah perusahaan swasta, namun penantianku tak juga mendapat kepastian. Aku mulai dicerca oleh gunjingan. Orang tuaku semakin merasa tertekan, rasa malu mulai merambat benak mereka. Berkali-kali bapak bertanya tentang kehidupanku kedepan. Aku hanya menjawab belum waktunya, karena yang aku tunggu belum juga datang. Dan aku meyakinkan pada mereka bahwa pasti aku akan menikah, tapi tidak secepatnya. Tak tahan dengan gunjingan saudara-saudara penyakit jantung bapak kambuh, dan harus dirawat intensif di rumah sakit. Disela sakitnya bapak memintaku agar jangan pilih-pilih tebu dalam memilih suami, nanti malah keburukan yang akan didapat. Kata-kata bapak membuat dadaku sesak. Aku tidak pilih-pilih dalam hal itu, aku hanya ingin menepati janji untuk menunggu orang yang sudah kupilih untuk menjadi pendapingku.“Angga?, kenapa kamu tak pernah mau mengerti tentang resah ini” Ratapku. Sebagai anak satu-satunya, perempuan pula, apa yang harus aku lakukan?, selama aku hidup rasanya belum pernah membahagiakan orang tuaku. Pikiranku saat ini adalah apakah aku siap jika menikah dengan orang selain Angga? Itu yang menjadi bebanku. Aku takut jika kelak ia kembali dan mendapatkan aku sudah menikah dengan orang lain. Tak dapat kubayangkan hancurnya perasaannya. Aku benar-benar tidak tega jika perjuangannya selama ini hancur seketika hanya gara-gara aku menghianatinya. Namun harus bagaimana aku ini?. Dengan sangat terpaksa aku berbohong, aku bilang pada bapak akan dilamar 3 bulan lagi. Mendengar tuturku wajah bapak berseri seminggu kemudian bapak sembuh. Aku bahagia, namun juga panik dan sedih. Dalam tiga bulan?, akankah Angga datang. Sedang hingga saat ini tak juga aku dapatkan alamatnya. Dalam waktu yang kurasa singkat apakah aku bisa mencintai orang lain selain Angga.“Ya. Allah, aku pasrah padaMu” masalah ini betul-betul sangat menekan perasaanku. Tubuhku semakin kurus kurasakan. Setiap malam kegelisahan merayap berlahan, membuahkan sebuah tangis lirih yang sangat mengiris hati. Mataku tidak akan terpejam sebelum shalat subuh aku kerjakan. Aku benar-benar tidak dapat lagi berfikir dengan tenang. Bayangan Angga, Bapak dan saudara-saudara, melintas bergantian. “Angga, jika bukan karna janji aku tak akan seperti ini, jika bukan karena cinta aku tidak akan setia menunggumu walau tanpa kepastian darimu” desahku sambil berlinang air mata. Aku tatap wajah Angga yang tersenyum manis di balik bingkai kaca di atas meja sudut samping tempat tidurku.****Senja ini gerimis, aku pulang dari tempat kerjaku 1 jam lebih awal. Karena mendadak kepalaku pusing dan pandanganku berkunang-kunang. Aku harus menuruni tangga keluar dari kantorku. Di atas anak tangga aku berhenti. Tiba-tiba aku merasa disekitarku gelap. Tangan kokoh memegang lenganku dan memapahku turun berlahan, lalu didudukan aku di kursi ruang lobi.“Ambilkan air putih” samar suara laki-laki ku dengar. Segera seorang OB membawa segelas air putih, tak menunggu lama air putih yang telah dipegang laki-laki itu telah menempel dibibirku. “Minum win, biar tenang dan jantungmu stabil”Ucapnya. Antara sadar dan tidak aku meneguk sedikit demi sedikit air putih yang disodorkan dibibirku. Rasa dingin segar mengalir kekrongkongan lalu nafasku lega dan detak jantungku tak lagi berdebar. Berlahan ku buka mataku.“Pak Hendra!” Pekikku kaget.“Ada apa dengan saya pak?” Aku masih merasa heran.“Kamu hampir jatuh dari tangga Win, dan kebetulan saat itu saya tepat ada dibelakangmu” Terang pak Hendra.“Terima kasih pak, maaf sekali. saya memang selalu merepotkan” Ucapku kaku. “Sudah, jangan seperti itu. Ini kebetulan saja. Badanmu masih lemah. Kebetulan saya akan keluar menemui clien sekalian saya antar kamu pulang, ayo..mobil sudah menunggu di depan” Tawar pak Hendra ramah. “Terima kasih banyak pak, tapi biarlah saya naik bus saja, saya sudah biasa seperti ini” Tolakku tulus.Aku merasa malu, Pak Hendra adalah bosku. “Sudahlah, menolak berarti kamu tidak menghargai saya” Ucapnya benar-benar membuat aku tak bisa menolak lagi. Aku hanya mengangguk dan berjalan berlahan menuju mobil sedan hitam mengkilat mewah. Di dalam mobil mewah ini, tubuhku seakan mengigil, entah karena dinginnya AC atau karena kegrogianku. Aku gemetar, namun gemetarku tak sampai terlihat oleh pak Hendra karena beliau duduk didepanku. Pak Hendra yang masih muda menjadi bosku. Umurnya sekitar 31 tahuan, selisih 3 tahun denganku. Sungguh laki-laki yang sempurna, wajahnya tampan, cerdas, baik hati, ramah dan dia adalah sosok pemimpin yang bijaksana. Mungkin perusahaan ini maju pesat, karena dipimpin oleh orang yang tepat. Orang yang cerdas dan mampu membuat semua karyawannya mempunyai jiwa loyalitas yang tinggi. Pendekatan yang sangat jarang dimiliki oleh para bos diluaran sana. Pak Hendra, seorang pengusaha muda yang sukses. Namun, tetap saja tak ada kesempurnaan dalam diri setiap manusia. Entah kenapa sampai saat ini Pak Hendra belum juga menikah. Padahal tidak ada lagi yang menjadi pertimbangan untuknya mencari wanita. Sampai saat ini, gosippun tak terdengar kalau dia mempunyai seorang kekasih. Bersama wanitapun tidak pernah ada yang melihat. Kebiasaan buruk memang, dan tidak enak jika anak buah tidak membicarakan bosnya, entah itu membicarakan tentang kebaikannya atau keburukannya dan ini sudah menjadi kebiasaan bagi semua anak buah dimanapun. Yang menjadi topik pembicaraan tempatku bekerja hanyalah tentang kesendirian Pak Hendra. Terkadang terdengar dari salah satu karyawan mengatakan pak Hendra itu Gay, ada juga yang mengatakan Pak Hendra itu trauma, dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang kesendirian Pak Hendra dan selalu menjadi topik hangat setiap hari. Pak Hendra tidak risih, itu yang menjadi keseganan kami. Ia hanya tersenyum saat ada yang kepergok sedang membicarakannya. Aku sendiri berprediksi kalau pak Hendra itu trauma dengan wanita. Mungkin karena dia pernah dikhianati atau pernah disakiti oleh wanita. Tapi wanita tolol mana yang sampai menyiakan cinta pak Hendra. Memang tidak ada habisnya untuk membicarakan orang lain, sampai masalah dalam diri sendiri lupa. Sepanjang perjalanan aku bungkam dan pak Hendra hanya berbicara dengan klien lewat Hpnya. Setengah jam mobil mewah ini berjalan gerimis tak juga reda, suasana kelabu semakin terasa dingin namun menyegarkan.“Di depan gang itu saja pak saya turun” Ucapku memecah keheningan.“Tapi rumahmu masuk kan?” Tanya pak Hendra“Ia pak” jawabku singkat“Ya sudah sekalian saja sampai depan rumahmu” Ucap pak Hendra tegas.“Tapi pak, nanti bapak terlambat menemui klien.”“Tidak jauh kan?, ini masih grimis nanti tambah sakit kamu win”Aku benar-benar tidak bisa berkata-kata lagi. Tepat didepan rumah mobil berhenti. Susana rumahku lengang. Ini sudah biasa, aku keluar dari dalam mobil mewah pak Hendra mengantarku sampai depan pintu rumah. Perasaan malu sangat aku rasakan entah kenapa. Pintu terbuka sebelum aku sempat memencet bel, kepala ibu menyebul dari balik pintu. Terlihat dari wajahnya ada keterkejutan melihat aku dan Pak Hendra dan senyumnya menggambarkan harapan dan kebahagiaan. Ibu menatapku, lalu memegang wajahku.“Kamu pucat sekali, kamu sakit sayang?” Ucap ibu lembut namun penuh dengan kekhwatiran.“Iya bu, Windi tadi pingsan dikantor, dan kebetulan saya memang akan keluar untuk menemui klien jadi sekalian antar Windi” sambar Pak Hendra.“Aduh terima kasih mas” Ucap ibu tulus. Pak Hendra mengulurkan tangan.“Saya Hendra bu, teman kerjanya Windi” Ucap Pak Hendra setengah berbohong.“O, ya mari masuk dulu” Tawar ibu bukan basa-basi.“Terima kasih bu, saya buru-buru” Tolak Pak Hendra disertai senyum khasnya, senyuman yang menawan setiap orang yang melihatnya.“Maaf ya nak Hendra sudah merepotkan” Ucap ibu tulus“O, tidak apa-apa bu, saya pamit assalamualaikum” Pak Hendra berlalu setengah berlari menuju mobilnya karena gerimis semakin deras mengguyur.“Walaikumsalam” Jawab ibu dan aku bersamaan. Aku dipapah ibu ke kamar, punggung tangan ibu menempel dikeningku.“Badanmu panas win” Ucapnya Panik“Win sudah minum obat kok bu, hanya kelelahan saja, istirahat dulu ya bu, Win capek” Ucapku lemah.Ibu hanya mengangguk sambil menyelimuti tubuhku lalu mengecuk keningku. ****Pagi yang cerah, tubuhku sudah sehat terasa. Aku buka jendela kamar dan sinar matahari pagi menerobos masuk menghangatkan ruang kamarku. Masih dipinggir jendela aku tersenyum melihat sisa embun di ujung daun jeruk nipis kemilau tersinar matahari bagai mutiara murni. Ibu sengaja menanam pohon-pohon di samping rumah karena ibu mencintai kehijauan. Lagi pula sejuk rasanya kalau ada pohon-pohon didekat rumah, rumah jadi sehat dan asri. Sisa gerimis semalam ternyata menyegarkan suasana pagi. Belum puas aku menikmati segarnya pagi suara bel berbunyi. Terpaksa aku keluar kamar namun ibu sudah lebih dulu sampai di ruang tamu. Aku lihat ibu menyibakan tirai jendela sebelum mebukakan pintu.“E..nak Hendra, mari masuk” Ucap ibu. Aku terkejut bukan kepalang. Pagi-pagi begini Pak Hendra kerumahku. Aku belum sempat cuci muka, apalagi mandi. Aku benar-benar panik segera aku ambil handuk yang menggantung di balik pintu kamarku, setengah berlari aku masuk kamar mandi. Ibu sudah sudah asik ngobrol pagi-pagi dengan Pak Hendra.“Win Sudah sehat bu?” Tanya Pak Hendra.“Sudah, sebentar saya panggilkan” Jawab ibu sambil berlalu menuju kamarku. Aku keluar dari kamar mandi, ibu langsung mendekati aku.“Win, Hendra datang. Siapa dia?” pertanyaan Ibu mengejutkan aku.“Pak Hendra adalah bosku bu” jawabku.“Bos mu?, “ ibu mengerutkan kening“Iya, kalau nggak percaya liahat nanti apa yang kami bicarakan” Aku keluar kamar dan menemui Pak Hendra“Pak Hendra. Maaf saya baru mandi. “ Sapaku. Pak Hendra menatapku dengan tatapan yang tidak biasa menurutku. Tajam namun teduh. Ada setitik kecemasan dan keceriaan di sana.“O, sudah sehat Win?”“Alhamdulilah pak. Ini ada apa pagi-pagi sekali?” tanyaku heran.“Saya hanya ingin jenguk kamu, kalau kamu sudah sehat ya sekalian kita bareng ke kantor” Ucapnya lagi-lagi membuat aku tak bisa menolaknya. Ibu yang mendengar pembicaraanku mengangguk percaya dengan penjelasanku, sambil membawa segelas teh hangat ia menyuruhku agar cepat berkemas. “Diminum nak Hendra” “Terima kasih, wah jadi merepotkan ini” katanya disertai senyumIbu ikut tersenyum.“Tidak, tidak merepotkan justru kami yang merepotkan. Sampai seorang bos menjemput anak buahnya” Tawa pun pecah.“Ah Windi pasti cerita siapa saya ya bu?”“Iya, habis ibu penasaran. Karena Windi tidak biasanya pulang dengan seorang laki-laki.” Ucap ibu serius“Oya. Windi tidak pernah di antar atau di jemput pacarnya atau teman laki-laki?” Tanya Hendra penasaran.“Pacar?, Windi kok punya pacar gadis rumahan seperti Windi tidak akan punya pacar, sebab tidak ada yang tahu kalau rumah ini punya anak gadis. Berangkat kerja pagi pulang sore dan hari minggu ndekem aja dikamar. Gimana mau ada laki-laki yang tahu” Jawab ibu panjang. Pak Hendra hanya manggut-manggut. Aku keluar sudah dengan pakaian kerjaku. Baju blazer hitam, kaca mata dan tas menyangkut dipundakku. Setelah berpamitan aku dan Pak Hendra menuju mobil mewah yang sudah parkir di depan rumah.Walau segan aku coba bersikap biasa saja ketika ada di dalam mobil mewah pak Hendra. Sejak saat itu hari-hariku menjadi hari-hari yang aneh. Sebab Pak Hendra setiap pagi menjemputku dan pulang selalu bersamaku. Aku menjadi gosip palih hot di kantor.“Wah ketiban duren nih” Ledek Indri teman kerjaku.“Iya sakit banget” Balas canda ku. Dua bulan setengah. Waktu singkat menurutku. Pak Hendra beranikan diri untuk melamarku. Entah rasa apa yang aku rasakan yang pasti panik, sedih, senang bahagia bangga bercampur aduk jadi satu. Kemarin aku sendiri yang bilang perempuan mana yang tolol menolak pak Hendra yang begitu kaya, baik tampak dan cerdas. Sekarang masalahku bertambah. Yang kuharapkan tak juga datang, hadir Pak Hendra yang dapat membuat kedua orang tuaku merasa bangga dan bahagia. Walaupun kesempurnaan terdapat pada diri pak Hendra namun hati ku tak tergoda sedikitpun. Hatiku masih saja menyebut-nyebut nama Angga. Aku benar-benar tak dapat melupakannya. Ini cinta bagiku, karena statusnya tak dapat digantikan oleh siapapun dan apapun. Rasa yang aku miliki pada Angga tak ku miliki pada diri Pak Hendra. Kenapa?. Hal ini yang aku takutkan, aku takut ada keterpaksaan pada hatiku, meskipun sudah sekuat tenaga aku paksakan untuk dapat menerima Pak Hendra dengan harapan aku bisa jatuh cinta karena kesempurnaannya. Tapi tetap tidak bisa. Angga satu-satunya yang aku cintai. Namun, hingga saat ini tak juga ada kabar tentangnya. Pertimbanganku sudah pas. Karena aku minta pada pak Hendra tunggu tepat tiga bulan.“Pak Maaf, saya minta agar pas tiga bulan baru saya akan beri tahu jawabannya” Kataku pak hendrapun setuju. Kini waktunya telah tiba dan jawaban harus aku berikan pada pak Hendra. Bayangan orang tuaku yang bangga dan bahagia membuatku ingin menerima lamaran Pak Hendra, bayangan saudara-saudaraku yang mengejekku dan mentertawakan aku memotivasi aku untuk menerima Pak Hendra dan bayangan Angga yang tersenyum? Aduh,. Membuat perih dadaku.“Maaf kan aku sayang?, tidak bisa memegang janjiku. Bayak alasan yang aku berikan untukmu, kenapa aku ingkari janji ini” desahku. Aku terima lamaran Pak Hendra. Seminggu lagi aku menikah. Dapat dibayangkan bagaimana resepsi pernikahan orang-orang kaya. Semua ternyata sudah dipersiapkan Pak Hendra jauh sebelum dia melamarku. Aku benar-benar tidak menyakan, selama ini Pak Hendra benar-benar memperhatikan aku. Akad nikah dimulai, aku pejamkan mataku. Bayangan Angga datang , aku buka mataku bersama air mata menitik di sudut mataku. Aku benar-benar merasa hina karena semua cinta dan kesetiaanku aku lepas begitu saja. Aku seorang penghianat. Akad nikah selesai, aku dan Pak Hendrapun duduk di pelaminan para tamu undangan menyantap menu yang disediakan, aluan musik klasik menambah keromantisan. Batinku tidak di sini tapi entah dimana, aku resah dan rasa bersalah meyelimuti hatiku. Sebelum bertemu Angga aku tidak akan lepas dari semua dosa ini. Hanya kata maaf yang aku butuhkan dari Angga. Tapi kapan, dimana?. Aku benar-benar tersiksa. Pestapun hampir usai mobil sedan mewah berhenti. Seorang laki-laki keluar dari dalam mobil. Aku tercengang melihatnya. “Angga…” tak sadar aku berdiri tak peduli Pak Hendra melihatku heran.Angga melangkah, dengan tegang tak ada senyum dibibirnya. Ia langsung kepelaminan menjabat tangan Pak Hendra“Selamat” katanyaLalu kepadaku dan meyelipkan lipatan kertas“Penghianat” ucapnya lirih. Aku benar-benar merasa malu, sakit dan kesal. Kenapa ia baru datang ketika aku sudah ada di pelaminan. Kenapa.? Kenapa?..” jerit batinku.Angga melangkah meninggalkan kami dan menuju mobil mewah. Lalu melesat pergi. Surat Angga aku baca di kamar mandi.“aku tak menyangka, hari ketika aku kembali kau sudah ada yang punya. Aku merasa bersalah kenapa tak ada kabar buatmu. Itu pasti alasan mu kenapa kamu menikah. Aku mengerti, tapi kamu tidak akan pernah mengerti kenapa aku tak berikan kabar buatmu. Aku sudah berjanji. Semua yang aku lakukan demi kamu, buat kamu dan karena kamu. Keberhasilanku karena kamu, terima kasih. Tapi semua ini untuk apa? Orang yang aku cintai dan yang berhak menerima ini semua telah pergi. Maafkan aku Windi. Aku doakan semoga kamu dapat bahagia dengannya.” Aku terisak, sedih dan entah apa lagi yang aku rasakan. Semua ini sudah aku bayangkan. Namun kenyataannya lebih sakit. Sangat meyakitkan. Orang yang aku dambakan, kembali dan terlambat haya beberapa jam. Seandainya dia datang sebelum akad nikah dimulai aku akan korbankan maluku untuknya. Tapi ini kehendakNya. Aku yakin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar